English | العربية | Bahasa Indonesia | Urdu | Türkçe
Penafian: Pandangan, pendapat, temuan, dan kesimpulan dalam makalah dan artikel ini sepenuhnya dari penulis. Yaqeen tidak mendukung pandangan pribadi penulis pada platform mana pun. Kami memiliki anggota tim yang beragam, sehingga memungkinkan dialog terus-menerus untuk memperkaya dan membantu kami menghasilkan penelitian berkualitas tinggi.
Catatan Editor
Makalah ini dijadwalkan terbit sebelum kematian pemimpin NIIS Abu Bakar Al-Baghdadi diberitakan. Menindaklanjuti berita ini, kami merasa semakin perlu menerbitkannya guna membentangkan perbandingan antara konsep khilafah dalam tradisi Islam dan pemahaman kebanyakan Muslim yang terpengaruh oleh imajinasi Barat tentang khilafah yang ditimbulkan oleh kebrutalan NIIS.
Ucapan Terima Kasih Penulis
Saya berutang budi kepada sejumlah cendekia dan teman yang telah membaca draf awal makalah ini dan memberikan saran-saran berharga, antara lain Zara Khan, Jonathan Brown, Omar Anchassi, Mohammed El-Sayed Bushra, Carl Sharif El-Tobgui, dan Mobeen Vaid. Mereka semua memberikan banyak saran, koreksi, dan referensi, baris demi baris. Begitupun, saya tetap bertanggung jawab penuh atas pendapat dan kemungkinan kesalahan di dalamnya. Terima kasih juga kepada jajaran pimpinan Yaqeen yang mendorong penulisan topik yang menantang ini, dan kepada banyak mahasiswa di berbagai tempat di Amerika Utara, serta hampir di setiap negeri Muslim tempat saya pernah mengajar materi ini dalam berbagai format. Pelbagai pertanyaan, wawasan, dan aspirasi mereka sungguh menginspirasi saya.
Siapa yang menginginkan khilafah?
Sebagai sebuah kata yang sarat makna, “khilafah” menimbulkan kenangan dan keinginan bagi sebagian orang dan ketakutan bagi sebagian lain. Selama sekitar empat belas abad, meskipun ada diskontinuitas, Dunia Islam identik dengan khilafah. Keruntuhan Khilafah Utsmaniyah setelah Perang Dunia Pertama mengejutkan dan menyedihkan seluruh wilayah Islam, sedangkan gagasan kebangkitan khilafah menginspirasi banyak gerakan dan proyek intelektual. Namun, daya tariknya tenggelam di tengah gempita singkat pendirian negara pascakolonial yang dibayang-bayangi Perang Dingin. Sekarang, seiring nyatanya kegagalan pendirian negara ini, berikut juga banyaknya korban berjatuhan akibat ilmu ekonomi neoliberal dan keruntuhan lingkungan global, serta sistem dunia yang mengarah ke deglobalisasi dan nativisme, gagasan khilafah sebagai alternatif tunggal peradaban yang dapat melindungi kepentingan orang-orang marjinal menguat di kalangan umat Islam. Meskipun baru saja menarik perhatian akademis, gagasan persatuan pan-Islam justru semakin mendapatkan dukungan berkat adanya segala peredaman perlawanan di Dunia Islam, siklus baru terorisme dan perang, penindasan Muslim dengan impunitas, dan tembok baru yang didirikan di Euro-Amerika.
Baru-baru ini, keberadaan khilafah buruk justru mendorong pamor gagasan tentang khilafah baik. Kebangkitan dan kejatuhan apa yang disebut sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS; juga dikenal sebagai Negara Islam Irak dan Levant [NIIL]), dengan segenap manfaat dan mudaratnya, menunjukkan potensi gagasan ini. Bahkan, para pemimpin populis di kawasan ini telah menyuarakannya; misalnya Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, yang memanfaatkan gelora nostalgia umat Islam sedunia akan Khilafah Utsmaniyah. Baru-baru ini, dia menyatakan bahwa Republik Turki adalah kelanjutan Khilafah ini. “Sultan Erdogan,” begitu para pengagumnya memanggilnya, mengisi kekosongan yang semakin dirasakan banyak Muslim di seluruh dunia.1 Kekuasaan Erdogan mungkin berumur pendek, tetapi aspirasi yang dimunculkannya tidak.
Belum lama ini, para pendukung kebangkitan khilafah dituduh—dan tuduhan ini tidak selalu salah alamat—sebagai fanatik, romantis, atau tradisionalis garis keras, yang merindukan zaman keemasan yang tidak pernah ada. Para Islamis arus utama, yang semakin condong atau terdorong menganut politik negara-bangsa, telah mengadopsi posisi mulai dari visi seperti politik demokrasi Kristen sekuler di Eropa, hingga pengakuan halus bahwa persatuan negara-negara Muslim, atau setidaknya Arab, dalam sebuah konfederasi demokrasi Muslim seperti Uni Eropa memanglah sesuatu yang diinginkan, walaupun di luar jangkauan. Para pragmatis ini, walaupun sudah berkompromi, sebagian besar gagal mencapai tujuan politik mereka, bahkan gagal menghindari persekusi massal dan, seperti perkembangan setelah Pemberontakan Arab 2011, tampaknya kehilangan daya tarik di tengah kaum muda Muslim yang membayangkan visi lebih baru dan lebih berani. Ketika gambaran ketidakberdayaan massa Muslim dan pengkhianatan elite Muslim beredar luas di dunia nyata maupun maya, gagasan tentang ummah (umat Islam sedunia) membubung tinggi dan tenggelam dalam, senasib dengan mitra alaminya, khilafah, yakni pemerintah terpadu yang melindungi semua Muslim, terutama mereka yang terlupakan di wilayah pinggiran. Ketika wilayah pinggiran ini melebar, jauh melebihi penduduk yang terlindungi di wilayah Muslim, suara gagasan itu pun kian nyaring.
Sebuah artikel New York Times baru-baru ini menyoroti gaung gagasan khilafah di tengah umat Islam di seluruh dunia, termasuk di kalangan pembenci NIIS yang tegas mengutuk kekerasan dan pandangan agamanya. Khilafah, menurut temuan penulis artikel itu, “adalah gagasan dengan daya tarik yang lebih dahsyat daripada yang ingin diakui banyak orang di Barat.”2 Fenomena terkini (politik keji para despot Timur Tengah yang mementingkan diri sendiri dan perpecahan parah akibat kekerasan sektarian) tampaknya telah mengarah pada “penerimaan arus utama terhadap identitas kolektif Muslim yang bersifat global dan terbuka secara politis yang mendorong kaum muda Muslim untuk melihat diri mereka sebagai komunitas kolektif yang membutuhkan tanah air sebagai solusi atas keadaan yang sulit.”3
Keberatan terhadap gagasan kebangkitan khilafah juga tampak hebat, dan terbagi menjadi tiga jenis: ia tidak diinginkan, tidak mungkin, dan/atau tidak diperlukan secara agama. Khilafah tidak diinginkan karena ia adalah sistem politik (jika bisa disebut sistem) abad pertengahan yang absolutis; ia mengisyaratkan zaman primitif sebelum munculnya hak asasi manusia, kemajuan, kewarganegaraan, demokrasi, dan kebebasan beragama. Selain itu, khilafah dikaitkan dengan kelompok teroris seperti NIIS, dan menarik perhatian terburuk baik dari pendukung maupun penolaknya. Ia tidak mungkin lantaran negara-bangsa, tak peduli apa pun kekurangannya, akan tetap ada. Akhirnya, secara agama ia tidak diperlukan karena khilafah dianggap bukan lembaga agama Islam sejak awal, melainkan hanyalah lembaga sejarah yang bahkan tidak pernah mewujud berlama-lama dalam bentuk idealnya sebagai otoritas terpadu atas seluruh umat Islam. Dalam makalah ini, saya mengevaluasi klaim-klaim itu.
Kontroversi seputar khilafah juga digerakkan oleh ambiguitas signifikansinya. Bagi para pengkritiknya, ia adalah teokrasi absolutis kekuasaan-satu-orang dari abad pertengahan atau, bagi para pendukungnya yang reformis, ia adalah konfederasi pemerintahan Muslim seperti model Uni Eropa (mungkin dengan akhir yang lebih bahagia!). Bagi sebagian orang, khilafah adalah alternatif pramodern untuk sistem politik kontemporer, sedangkan, bagi sebagian lain, khilafah adalah persatuan pascamodern negara-bangsa mayoritas Muslim demokratis. Kedua jenis pandangan ini kehilangan kompleksitas dan kekayaan tradisi diskursif Islam seputar khilafah yang perlu dibahas dan didekonstruksi.
Jika dipahami sebagai pemerintahan berdasarkan persatuan yang adil, akuntabel, sadar hak asasi manusia, dan terdesentralisasi dari berbagai pemerintah wilayah Muslim dengan perekonomian dan pertahanan yang bersatu, menurut saya khilafah mungkin adalah satu-satunya cara untuk menghindari degradasi masyarakat dan untuk menghindarkan negara Muslim dari menjadi wilayah kekuasaan teroris dan, nauzubillah, perang dunia ketiga.
Gagasan yang menyatakan bahwa khilafah—atau, lebih khususnya, khilafah yang ideal—adalah tidak mungkin lantaran wujudnya tidak ada lagi sebetulnya didasarkan pada kegagalan imajinasi dan kesembronoan intelektual semata. Bagaimanapun juga, demokrasi dimulai secara terbatas di sebuah negara-kota kecil Yunani, lalu berkembang selama beberapa ratus tahun, untuk kemudian menghilang selama dua ribu tahun berikutnya.4 Bahkan dalam reinkarnasinya, pada awalnya demokrasi muncul sebagai olok-olokan; para pendiri Amerika dan elitenya melihat gagasan tentang “demokrasi republik” sebagai oksimoron tetapi pada akhirnya mereka harus tunduk kepada tekanan khalayak ramai.5 Tidak ada alasan sebuah gagasan dianggap tidak layak hanya karena ia tidak populer.
Paling minimum, khilafah berarti persatuan umat Islam secara politik, bukan gagasan yang perlu mereka ciptakan ulang. Ia hadir dalam setiap diskursus Qur’ani tentang eksistensi sosial, setiap ajaran Nabi, dan setiap khutbah Jumat hingga hari ini. Sepanjang sejarah, umat Islam telah menyepakati perlunya aktualisasi politik gagasan ini; ia tidak hanya mendahului hukum Islam tetapi merupakan syarat kelahiran dan koherensinya. Kenyataannya, khilafah tidak selalu mencakup semua wilayah Muslim, dan gagasan persatuan pan-Islam secara menyeluruh adalah aspirasi yang pada kenyataannya jarang tercapai. Jadi, khilafah ideal tidak berbeda dari cita-cita demokrasi sempurna atau bahkan negara-bangsa berdaulat. Aspirasi kolektif semacam ini jarang terwujud dalam bentuk idealnya, namun mampu menginspirasi tindakan moral pribadi dan kolektif mayoritas orang pada era tertentu. Saya menyebutnya cita-cita asimtotis. Sebuah asimtot (pelajar kalkulus di sekolah menengah mungkin ingat) adalah garis lurus yang makin didekati oleh suatu lengkungan, tetapi tidak pernah berpotongan.
Cita-cita asimtotis tidak sama dengan cita-cita utopis lantaran ia nyata, rasional, dan bahkan kadang dapat tercapai, tetapi kesempurnaannya selalu berproses. Ia serupa dengan gagasannya ahli teori politik Sheldon Wolin ketika dia menggunakan kata sifat seperti “episodik” dan “pelarian” untuk menggambarkan demokrasi.6Semua cita-cita manusia yang bermakna, termasuk cita-cita agama Islam, adalah asimtotis, seperti Sunnah Nabi Muhammad saw. Menghindari dosa, selalu mengutamakan Allah di atas segalanya, serta bersikap jujur, adil, dan berani adalah bagian dari cita-cita asimtotis ini. Cita-cita asimtotis seseorang, menurut saya, adalah indikasi imannya yang paling jelas. Orang yang benar-benar percaya kepada demokrasi, liberalisme, kapitalisme, atau sosialisme berpegang teguh pada hal-hal ini, bahkan ketika hal-hal ini tampak gagal. Kesatuan politik umat Islam dan kelangsungan pemerintahan profetik adalah salah satu cita-cita yang telah menjadi bagian dari identitas umat Islam sepanjang sejarah dan didasarkan—seperti akan saya tunjukkan di bawah—pada imperatif Islam.
Khilafah bukanlah utopia, sekalipun di masa kejayaannya. Oleh karenanya, kita harus menolak romantisasi khilafah sebagai lembaga yang secara ajaib dapat menjamin kemerdekaan dan kesejahteraan umat Islam hanya dengan deklarasi. Ia juga tidak berlangsung terus-menerus tanpa masalah selama tiga belas abad keberadaannya. Pun begitu, sejumlah kritikus berpendapat bahwa khilafah historis berlangsung empat belas abad lamanya dengan berlandaskan konsensus atas cita-cita besar itu, sehingga setiap lembaga atau cita-cita politik atau agama lain pasti tersingkirkan. Jelas, konsensus dalam Islam tentang larangan sumpah palsu, riba, pembunuhan orang tak bersalah, dan seterusnya, bukan lantas berarti bahwa norma-norma ini selalu ditegakkan dalam praktiknya. Skeptisisme selektif ini mengingatkan kita kepada kebengisan kaum Khawarij terhadap para Muslim lain. Mereka juga yang awalnya menciptakan cita-cita palsu secara manasuka (sepemahaman mereka, hanya Al-Qur’an saja yang berhak mengadili, tanpa bantuan otoritas yang telah melihat pewahyuannya) kemudian mengutuk semua pihak yang mereka nilai gagal. Pada khususnya, orang Khawarij membenci pemerintahan para khalifah yang tidak sempurna dan bahkan para pemimpin sekte mereka sendiri. Jika fakta bahwa khilafah masa lalu tidak sepenuhnya bersatu dan tidak selalu adil diartikan sebagai ketiadaan khilafah, kita dapat berargumen secara analogis bahwa tidak ada Muslim dalam sejarah karena mereka semua tidak sempurna, sama seperti tidak ada demokrasi karena semua demokrasi tidak sempurna. Semua argumen seperti ini sama-sama tidak masuk akal.
Tentu saja ada kaum sekularis modern yang berargumen bahwa otonomi politik dan persatuan umat Islam, sebagaimana tersirat dalam gagasan khilafah, bukanlah tujuan atau cita-cita agama sejak awal. Argumen ini sekarang dibahas. Sejauh ini poinnya adalah, menunjukkan ketidaksempurnaan sejarah saja bukanlah suatu argumen untuk menentang kemungkinan khilafah. Persoalan tentang kemungkinan [khilafah] memang merupakan elemen penting dalam mengevaluasi dan memprioritaskan kewajiban dalam yurisprudensi Islam; selain itu, ketimbang mengabaikannya begitu saja, ia harus diperdebatkan, seperti yang dilakukan dalam makalah ini.
Selanjutnya, persoalan tentang keinginan. Bagi orang beriman, signifikansi persoalan ini selalu di bawah persoalan tentang perintah Ilahi, yang selalu ditujukan untuk kesejahteraan tertinggi kita walaupun tidak kita pahami: “Sesungguhnya Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”7 Namun, setiap perintah Allah harus dipahami dalam sebuah bangunan yurisprudensi Islam yang terdiri atas perintah, larangan, dan rekomendasi yang disusun (berbeda oleh ulama yang berbeda) berdasarkan prioritas pragmatis, kapasitas individu dan kolektif, dan kepastian epistemologis tentang status perintah itu. Kita akan membahas status pendirian khilafah sebagai sebuah perintah secara singkat saja, karena pembahasan menyeluruh di luar cakupan makalah ini.
Sejumlah ulama terkemuka, seperti Hujjat al-Islam al-Ghazali, menganggap khilafah sebagai kewajiban terlepas dari keefektifannya, seperti ritual keagamaan, terpisah dari fungsi atau utilitas politiknya. Ulama lain, seperti Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam al-Haramayn al-Juwayni, juga menekankan sifat rasionalnya. Pandangan terakhir ini, saya yakin, lebih menarik. Setiap usaha dalam mendirikan kembali lembaga global semacam khilafah harus menunjukkan kemampuannya mengatasi tantangan politik, sosial, ekonomi, dan ekologi yang dihadapi umat Islam. Setiap upaya melampaui status quo (di sini diidentifikasi sebagai sistem negara-bangsa) yang mendukung persatuan pan-Islam di Dunia Islam harus terlibat dalam dialog panjang dan keras tentang tantangan-tantangan ini. Upaya dialog dan membangun kembali seperti ini juga harus melibatkan bukan hanya semua Muslim, terutama yang kurang beruntung dan kehilangan haknya, tetapi juga warga non-Muslim yang hidup di wilayah Muslim, negara tetangga, dan komunitas cendekia dan saintifik global.
Ringkasnya, untuk memperdebatkan kewajiban khilafah secara agama, kita harus mengacu kepada kitab suci dan tradisi yurisprudensi Islam, tetapi untuk membuktikan kelayakan dan keinginan terhadapnya, kita juga harus berpaling kepada sejarah dan politik (apa yang disebut fiqh al-wāqi). Pada kenyataannya, dalam hal ini, seperti dalam hal apa pun, kedua jenis diskursus ini harus berjalan secara dialektis antara yurisprudensi dan realitas. Jika cara ini terlaksana, menurut saya, hasilnya akan lebih disukai kebanyakan orang yang memiliki maksud baik di seluruh dunia, bukan hanya Muslim.
Kini semakin banyak bermunculan alasan kuat bagi terwujudnya khilafah. Selama beberapa dekade terakhir, globalisasi telah sangat meningkatkan kesadaran Muslim tentang para Muslim lain berikut kesatuan keadaan dan visi mereka di seluruh dunia. Pada saat yang sama, kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin telah meningkat pesat di setiap negara. Pemberontakan Arab 2011 menunjukkan kesamaan ruang publik di hampir dua lusin negara berbahasa Arab. Gejolak pemberontakan ini masih jauh dari usai. Pada saat yang sama, tragedi yang terjadi di hampir setiap negara ini telah menunjukkan hampanya kedaulatan nasional, seiring monarki berbasis minyak dan otokrat militer di setiap negara sama-sama menghancurkan gerakan protes populer. Turut hancur pula muruah ulama yang justru dengan gembira menyoraki pembantaian dan pemenjaraan rakyat. Di bawah tekanan berat dari ketidakabsahan politik dan kebangkrutan muruah ulama, umat Islam menjadi semakin tidak mampu menyediakan kehidupan yang layak, dan reaksi terhadap kondisi mengenaskan seperti ini di antaranya adalah berupa kekerasan endemik (termasuk terorisme, tetapi yang lebih penting, individu yang rusak dan komunitas yang juga lebih rentan terhadap agresi mikro dan kekerasan dalam rumah tangga), kekecewaan atau fanatisme agama, dan sinisme etika secara umum.8
Secara global, model negara-bangsa telah terburai sejak pelaksanaan kebijakan neoliberal pada dekade 1980-an oleh negara adidaya. Buku-buku berpengaruh bertema kecemasan telah bermunculan sejak dekade 1990-an, seperti The End of the Nation-State (judul sejumlah monografi, yang dibahas di bawah), The Clash of Civilizations,9Jihad vs. McWorld: How Globalism and Tribalism are Reshaping the World,10 dan Endgames: Questions in Late Modern Political Thought.11 Literatur-literatur ini berbicara tentang memudarnya negara-bangsa tradisional dan kebangkitan kapitalis global yang bersekongkol dengan orang-orang kuat regional untuk mengumpulkan kekayaan dan mengamankan kekuasaan melalui pemodifikasian aparatus negara-bangsa dengan mengorbankan semakin banyak orang. Bahkan, pada saat jayanya (dari abad ke-19 hingga Perang Dunia Kedua), negara-bangsa terbukti hanya terdiri atas penyelarasan kepentingan-kepentingan tertentu berkedok sistem internasional yang abstrak. Seorang cendekia dari di Universitas Stanford, Amerika, yang ahli dalam masalah hubungan internasional terkemuka, dengan bernas menjelaskan fenomena ini dalam bukunya, Sovereignty: Organized Hypocrisy.12Kedaulatan negara-negara yang lebih lemah, menurut karya ini, telah secara rutin dilanggar kekuatan global, tetapi fiksi kedaulatan berguna untuk mempertahankan boneka kekuasaan. Banyak literatur tentang akhir negara-bangsa menunjukkan ketidakmampuan sistemnya menangani krisis terbesar di zaman ini, mulai dari perubahan iklim akibat ulah manusia dan ketidaksetaraan pendapatan hingga krisis pengungsi yang meluas (meningkatnya kasus nonwarga negara), dan merekomendasikan kerjasama ekonomi regional atau global sebagai jalan keluar.13 Ironisnya, umat Islam, yang secara historis mendapat manfaat paling sedikit dari Revolusi Industri, akan menjadi korban pertama dari konsekuensi tak terhindarkan, yaitu bencana lingkungan. “Kita menuju ‘apartheid iklim,’ yang dengannya orang miskin akan menderita sedangkan orang kaya menyelamatkan diri, ungkap laporan PBB yang mengerikan.”14 Umat Islam harus maklum bahwa skenario terburuk akan terjadi di negara-negara mereka. Singkatnya, bagi umat Islam, sistem negara-bangsa telah, dan akan terus, bertindak brutal, memecah-belah, dan bersikap kejam. Bukan saja karena para penjajah sejak awal telah memperhitungkan pendirian sistem ini sebagai cara untuk memecah umat Islam dan menguasai sumber daya mereka, tetapi juga, seperti ditunjukkan berikutnya, karena secara struktural sistem ini tidak sesuai dengan Islam.15
Mimpi, masa lalu, dan masa depan
Manusia adalah makhluk kenangan dan keinginan. Kehidupan tanpa harapan yang melampaui masa kini dan tanpa mimpi memperbaiki kondisi pribadi sekaligus menyelamatkan orang yang dicintai adalah kondisi yang mengerikan. Kondisi distopia seperti ini sering melahirkan kejahatan besar. Bahkan, para imperialis pun mengakui perlunya mimpi; Churchill pernah berkata, jika seseorang bukan Marxis di usia dua puluh lima maka dia tidak punya hati, tetapi jika seseorang masih juga Marxis di usia tiga puluh lima maka dia tidak punya otak. Marxisme, lengkap dengan eskatologi dan kredonya, adalah agama sekuler tertinggi di zaman modern. Bagi pemuda sekuler di belahan Dunia Utara, Marxisme atau bentuk visi progresif lain mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh eskatologi agama dan watak belas kasih penyelamat dunia yang tidak dimiliki kapitalisme. Sebagai komunitas global, umat Islam harus memiliki impian dan harapan bersama yang berfaedah. Kontrol Orwellian terhadap agama resmi dan pemberangusan setiap ekspresi visi alternatif Islam oleh penguasa zalim di Dunia Islam secara langsung bertanggung jawab atas tindakan apokaliptik dan nihilistik seperti yang dilakukan oleh NIIS. Para penguasa ini dibantu dan difasilitasi oleh negara-negara adidaya untuk ikut serta dalam Perang Global Melawan Teror dan mempersetankan segala hal, khususnya mengebiri Islam. Keadaan ini telah menghancurkan jiwa generasi Muslim milenial dengan cara mempolarisasi mereka, sehingga di antara mereka ada yang merasa menyesal menjadi Muslim dan merasa marah karena alasan yang sama.
Jenis Islam yang berkelanjutan di masa depan harus menjadi Islam yang betah dengan dirinya sendiri sekaligus mampu menyelamatkan dunia bukan dari dirinya sendiri, melainkan dengan menjadi dirinya sendiri. Visi ini dengan kukuh disuarakan oleh Profesor Salman Sayyid dalam karyanya yang berani dan imajinatif, Recalling the Caliphate:
Mengingat khilafah berarti memahami tantangan yang dihadapi umat Islam secara kolektif bukanlah agama atau budaya melainkan politik, dan resolusi mereka hanya dapat ditemukan dalam politik atas nama Islam. Politik ini tidak memiliki konten yang diperlukan selain yang diperjuangkan dalam urutan sejarah yang dimulai sejak kembalinya Nabi Muhammad (saw.) [dari mikrajnya ke surga] … Mengingat khilafah, pada waktu itu, adalah deklarasi dekolonial, ia adalah pengingat bahwa Islam adalah Islam (keselamatan), dan bagi umat Islam hanya itulah yang diperlukan.16
Pengingatan ini sudah lama tertunda. Kini, sudah selama hampir satu abad Islam tidak diperbolehkan menjadi Islam.
Setelah Perang Dingin, tatanan Barat menang. Para nabinya Barat, mulai dari yang konservatif seperti Huntington (“Orang lain berbeda, kita harus melawan mereka”) hingga yang liberal seperti Fukuyama (“Kita berada di akhir sejarah, kita harus mengasimilasi semua”), mengakui perlunya perbatasan dan musuh baru. Liberalisme (seperti kembaran ekonominya, kapitalisme) terus-menerus membutuhkan imperium dan penaklukan; kemenangannya hampir meratakan dunia, sehingga kaum liberal sendiri meragukan alternatifnya. Antropolog Clifford Geertz berpikir keras tentang dilema ini: keyakinannya akan superioritas liberalisme justru melawan kesadarannya—sebagai seorang antropolog—tentang keragaman keyakinan dan budaya. Berangkat dari dilema ini, koleganya yang bernama Richard Shweder pun bertanya: mengingat perataan semua peradaban oleh kapitalisme liberal, apakah monokultur yang menyerupai Dunia Baru yang Berani (Brave-New-World) adalah satu-satunya masa depan manusia? Dia lalu berspekulasi tentang tiga kemungkinan masa depan, mengajak kita untuk menyadari:
Masih harus dilihat apakah sejarah akan berakhir dengan pengembangan peradaban universal (nubuat nomor 1), kemenangan universal etnonasionalisme dengan banyak negara[berbasis]-bangsa yang terpisah dan otonom (nubuat nomor 2), atau apakah manusia, yang telah berkali-kali hidup di imperium multinasional sebelum era modern, siap hidup seperti ini lagi, bahkan dengan ketentuan politik liberal (nubuat nomor 3).17
Menurutnya, adalah kemungkinan ketiga yang memastikan kemakmuran dan kebebasan manusia yang nyata. Dan, menurut saya, ini adalah satu-satunya yang dapat diterima umat Islam secara wajar, yakni dunia dengan peradaban-peradaban yang sejatinya berbeda tetapi melihat kolaborasi dan koeksistensi, bukan konflik, sebagai tujuan abadi.
Universalisme palsu adalah kontradiksi dan kemunafikan terbesar terbesar liberalisme. Seperti dinyatakan Wael Hallaq dalam monografinya baru-baru ini, Restating Orientalism: A Critique of Modern Knowledge,18orang-orang seperti Edward Said yang menentang diskursus “konflik” ini malah menghilangkan Islam sebagai realitas peradaban. Pendekatan lebih baik adalah menerima Islam sebagai entitas peradaban dan mempertanyakan alih-alih melihatnya sebagai “konflik” yang seolah-olah tak terhindarkan.
Darah yang mengalir
“Di seluruh dunia, negara-negara genosidal menyerang umat Islam,” demikian judul opini yang ditulis sosiolog Arjun Appadurai, “Apakah Islam benar-benar target mereka?” Dan sub-judulnya berbunyi: “Israel memenjarakan orang Palestina dan Myanmar mengusir orang Rohingya, sebuah refleksi terhadap kesulitan minoritas biologis etnik dan ras.”19Terpikirnya juga, gumam saya. Selama beberapa dekade, pertanyaan ini telah diajukan umat Islam kepada diri mereka sendiri; banyak yang sudah tahu jawabannya. Opini ini sebenarnya banal, tetapi kebanalan inilah—yang berasal dari seorang sosiolog India-Amerika, bukan anggota al-Qaeda yang siap membom untuk balas dendam—yang menarik perhatian saya. Kebanalan darah umat Islam, tepatnya.
Ketika negara-bangsa mayoritas Muslim, bersama negara-negara berkembang lainnya, gagal atau menjadi tidak layak huni, Dunia Utara malah mendirikan tembok. Dalam menghadapi bencana perang, kolonialisme, genosida, korupsi, polusi, dan/atau kelaparan, umat Islam di seluruh dunia—bahkan yang ‘Islam KTP’ sekalipun—mau bergabung dengan gerakan pan-Islamisme modern yang berjanji melindungi mereka dari penghinaan ini. Di dunia global—di mana Perang Barat Melawan Teror20, secara paradoks, telah menonjolkan keislaman Muslim di mana-mana—Israel, Cina, Myanmar, India, dan banyak negara lain merasa bebas menyelesaikan “masalah Muslim” mereka dengan impunitas. “Kami berkonflik dengan seluruh Dunia Islam dan seluruh dunia Arab,” kata seorang politisi Israel, pernyataan yang mencerminkan sentimen anti-Islam di Eropa-Amerika dan wilayah-wilayah lain.21Umat Islam mau tidak mau teringat pesan Nabi saw. bahwa suatu hari nanti bangsa-bangsa akan memangsa mereka, bukan karena jumlah mereka sedikit, tetapi karena jumlah mereka yang banyak akan menjadi sia-sia seperti buih di tengah lautan.22
Masalah ini tidaklah baru, dan tidak akan hilang begitu saja. Pada akhir Perang Dingin, para pakar bahkan menyebut Islam sebagai masalah bagi hegemoni total budaya Barat. “Islam memiliki perbatasan yang berdarah,” kata Samuel Huntington dalam artikelnya yang terbit pada 1993 berjudul “The Clash of Civilizations.”23Huntington mengakui inspirasi gagasannya datang dari para penulis di kedua sisi pemisahan Islam-Barat. Dia mengutip seorang Muslim sekuler asal India yang menulis, “Di negara-negara Islam dari Maghreb hingga Pakistan perjuangan untuk mewujudkan tatanan dunia baru akan dimulai,” dan Bernard Lewis, yang menulis, “Ini tidak kurang dari benturan peradaban—reaksi penantang lama yang mungkin irasional tetapi menyejarah terhadap tradisi Yudeo-Kristen kita, [nilai] sekuler kita di masa kini, dan ekspansi keduanya di seluruh dunia.” Visi Lewis dan Huntington itu agresif, tidak akurat, dan tidak ramah, tetapi berunsur realis dan telah mengungguli ribuan protes akademis yang menyatakan bahwa tidak ada benturan semacam ini karena, menurut mereka, tidak ada peradaban yang berbeda. Padahal ada.
Sejak Huntington menulis, perbatasan ini menjadi lebih berdarah, dan meluas. Di luar perbatasan ini, organ-organ dalam tubuh yang disebut Nabi Muhammad saw. sedang kalah dan berdarah seiring penyerangan oleh tubuh itu sendiri. Orang Palestina ditembak dan dikucurkan darahnya oleh negara penjajah etnoreligius sekaligus apartheid. Orang Rohingya dibakar, diperkosa, dan dimusnahkan negara etnoreligius dan nasionalis lain, seiring ibu-ibu Rohingya melahirkan anak-anak pemerkosa Myanmar mereka secara massal. Orang Kashmir dan jutaan Muslim India setiap harinya kehilangan martabat, kemanusiaan, dan kehidupan mereka akibat nasionalisme etnik yang diilhami agama. Di Cina, Muslim Uighur ditindas di kamp-kamp penyiksaan dan pencucian otak, di sana para prianya dibunuh sementara para wanita dipaksa hidup bersama pria Han Cina. Sampai saat ini, tidak ada satu pun negara mayoritas Muslim di kawasan itu yang memprotes keras, bahkan jalanan Muslim juga senyap, sementara protes signifikan hanya datang dari kelompok hak asasi manusia sekuler dan, semakin seringnya, dari negara-negara yang secara strategis memusuhi kebangkitan Cina. Muslim di Republik Afrika Tengah sedang dimusnahkan secara etnik.24Yaman, Suriah, Libya, Irak, Somalia, Sudan, dan Afghanistan terlibat dalam perang saudara atau kerusuhan mendalam yang seolah tanpa akhir.
Konflik regional antara dua negara macan kertas yang hidup dari bahan bakar fosil, Arab Saudi dan Iran—yang digambarkan sebagai konflik sektarian Syi’ah-Sunni oleh para elite di kedua belah pihak yang mencari pengalihan atas kekurangan mereka—bisa menjerumuskan seluruh wilayah ini ke dalam perang regional nan mengerikan yang dapat dengan mudahnya melibatkan seluruh dunia. Rintangan terbesar bagi penyatuan dan kolaborasi juga merupakan alasan yang tepat mengapa penyatuan dan kolaborasi harus dilakukan.
Teokrasi absolut atau persatuan Islam yang toleran?
Agar pembelaan terhadap khilafah bermakna, kegagalan yang sering terjadi dalam pemikiran dan praktik politik Muslim di masa lalu harus diakui secara terbuka dan secara sistematis dibedakan dari visi persatuan politik Muslim yang otentik dan layak di dunia modern. Visi seperti ini tidak bisa menjadi ahistoris, atau utopis, atau sekadar rekapitulasi risalah-risalah atau lembaga-lembaga abad pertengahan. Lebih jauh lagi, persatuan semacam ini harus mengakomodasi susunan politik, budaya, dan denominasi agama yang berlaku di aras lokal, yang mengatur hajat antara sesama Muslim maupun hak-hak minoritas non-Muslim. Tugas menggambarkan dan membayangkan visi semacam ini membutuhkan lebih dari sekadar makalah, tetapi juga satu generasi ahli hukum Islam, teolog, ahli teori politik, pengusaha, dan pemimpin visioner. Apa yang saya tawarkan di sini hanyalah justifikasi sederhana dan penggambaran imajinatif dari visi ini secara umum, yang dimulai dengan sedikit fakta sejarah.
Profesor David Wasserstein, seorang cendekia keturunan Yahudi sekaligus pengkaji Yudaisme dan Islam yang berkhidmat di Vanderbilt University, baru-baru ini menerbitkan sebuah studi tentang akar ideologis dan agama NIIS dan khilafahnya, Black Banners of ISIS: The Roots of the New Caliphate.25Beberapa tahun sebelumnya, dia juga menyampaikan pidato mencerahkan dan berpendapat bahwa Islam abad pertengahan lah (yaitu Islam versi Khilafah Lama) yang menyelamatkan Yudaisme dari kepunahan.
Islam menyelamatkan kaum Yahudi. Tidak populer dan menyenangkan dunia modern, tetapi klaim ini adalah kebenaran sejarah. Argumennya ganda. Pertama, pada tahun 570 M, ketika Nabi Muhammad lahir, kaum Yahudi dan Yudaisme sedang punah. Dan kedua, kedatangan Islam menyelamatkan mereka, memberikan konteks baru di mana mereka tidak hanya bertahan, melainkan berkembang, meletakkan dasar bagi kemakmuran budaya Yahudi berikutnya—juga dalam dunia Kristen—melalui periode abad pertengahan ke dunia modern. … Jika Islam tidak datang, kaum Yahudi di Barat akan menghilang dan kaum Yahudi di Timur hanya akan menjadi kultus Oriental.26
Tidak jelas apakah profesor ini melihat ironinya. Khilafah historis adalah prasyarat keberadaan peradaban Islam, yang menghasilkan hukum, teologi, dan visi keagamaan yang, meskipun tidak sempurna (ingat asimtot!), berhasil melindungi komunitas Kristen dan Yahudi yang dinamis secara intelektual dan menjadi tuan rumah bagi kebangkitan sains dan filsafat Helenistik. Sebelum mengabaikan fakta ini dengan tergesa-gesa berkata “Sudahi nostalgia itu!” dan “Roda waktu tidak dapat dibalikkan,” kita harus melihat lebih teliti kontras antara dua contoh yang dibberikan oleh Wasserstein. Seandainya tidak ada khilafah dan pemerintahan terpadu selama berabad-abad atas wilayah yang sangat luas, yang dicirikan oleh perdamaian, stabilitas, dan pertukaran budaya dan komersial, dan seandainya persatuan antara wilayah-wilayah yang ditaklukkan oleh khilafah Islam berakhir sesaat setelah wafatnya Nabi saw. (artinya persatuan runtuh tak lama setelah ia dimulai), skenario alternatif yang akan muncul adalah zaman kegelapan menimpa kerajaan-kerajaan kecil atau, lebih buruk lagi, merajalelanya dendam kesumat dan aksi tuntut balas di antara pelbagai suku, seperti yang berlaku atas kaum Khawarij (analogi yang cocok untuk NIIS saat ini). Bani Umayyah, Abbasiyah, maupun Utsmaniyah memang bukanlah khilafah yang sempurna—ada penguasanya yang benar-benar tiran—tetapi, secara keseluruhan mereka, berikut elite agama dan politik Muslim, semuanya mengakui nilai terpenting dari persatuan masyarakat dan keutamaan hukum dan ketertiban. Cita-cita konsensual yang dijunjung tinggi oleh para Muslim terdidik inilah yang sekarang kita bahas.
Masa lalu: Sejarah dan tradisi normatif
Kata “khilafah” adalah versi bahasa Indonesia dari kata bahasa Arab khilāfa. Akar triliteralnya (khaʾ-lām-fāʾ) berkonotasi gagasan ‘menjadi atau datang setelah atau di belakang seseorang dari segi urutan, waktu, atau ruang.’ Dus, seorang khalifah (khalīfa) berarti ‘penerus’, ‘seseorang yang ditinggalkan pendahulunya untuk memenuhi tanggung jawab tertentu’. Al-Qur’an menyebut Adam, dus termasuk pula keturunannya sebagai “khalifah” (al-Baqarah ayat 30)—yang secara alami diartikan oleh para penafsir paling awal sebagai ‘penerus ciptaan sebelumnya yang pernah mendominasi bumi.’ Tetapi, menurut doa terkenal Nabi Muhammad saw. (sebagaimana termaktub dalam Sahih Muslim), Allah juga merupakan Khalifah bagi seorang musafir yang meninggalkan rumah dan keluarganya dalam perlindungan-Nya.27Penggunaan ini menunjukkan bahwa terjemahan modern khalifah sebagai ‘wakil’ tidaklah tepat, seperti gagasan dari abad ke-20 bahwa manusia adalah ‘wakil Allah’ secara metafisika. Referensi lain dalam Al-Qur’an menyebut Nabi Daud a.s. sebagai “khalifah wilayah,” hanyalah berarti “pewaris wilayah,” yang telah dikaitkan dengan otoritas politik dan kepengurusan bumi secara metafisika. Makna ini secara konseptual dapat dibenarkan melalui gagasan taskhīr dan takrīm dalam Al-Qur’an (bahwa Allah memuliakan manusia dan menundukkan semua ciptaan bagi mereka, surah al-Isra’ ayat 70, Ibrahim ayat 32–33, dst.), tetapi secara linguistik, ia tidak berhubungan dengan istilah khalifah. Ini bukanlah sekadar tetek-bengek linguistik, sebab telah muncul banyak genre sastra—baik yang dihasilkan oleh penulis Muslim maupun Orientalis—akibat kesalahpahaman ini.28Dalam kasus-kasus tertentu, kesalahpahaman ini digunakan untuk mengaitkan Al-Qur’an dengan gagasan modern tentang kedaulatan rakyat dalam negara-bangsa.29
Pun demikian, apa yang menarik bagi kita adalah penggunaan historis istilah ini untuk menyebut penguasa politik tertinggi umat Islam. Dalam pengertian ini, khilafah berarti ‘perwakilan’ (niyāba) Nabi Muhammad saw. dalam kepemimpinan dan pengelolaan komunitasnya setelah kewafatannya. Pemimpin politik tertinggi umat Islam ini juga disebut imam (pemimpin) oleh para teolog baik Sunni maupun Syi’ah—meskipun Syi’ah menggunakan istilah imam untuk menyebut pemimpin mereka yang sah secara teologis, dan belum tentu politik. Sebelumnya, karena istilah khalifah tidak memiliki makna politik yang jelas dan hanya menggambarkan peran Abu Bakar sebagai penerus Nabi, maka amīr al-muʾminīn (pemimpin kaum mukmin) pun menjadi istilah umum yang lebih eksplisit untuk menyebut penguasa sejak masa pemerintahan Khalifah Kedua, ‘Umar. Seiring berjalannya waktu, ketika ranah politik menjadi penuh sesak dengan berbagai jenis pemimpin seperti amīr (panglima militer), sulṭān (penguasa, raja) dan malik (raja), secara historis dan politis istilah khalifah pun merujuk kepada pemimpin tunggal dan tertinggi bagi seluruh umat Islam.
Lima model khilafah dalam sejarah
Model khilafah normatif pertama dan satu-satunya bagi mayoritas Sunni mencakup empat penerus awal Rasulullah saw., yang kemudian disebut rasyidin (terbimbing dengan benar). Pada awalnya, otoritas agama dan politik tidak dibedakan secara sistematis, dan khalifah atau penerus Nabi memainkan kedua peran ini. Kurang dari satu abad kemudian, muncullah model lain yang menggariskan bahwa khilafah utamanya menjadi pranata politik, sementara otoritas agama secara bertahap terbagi antara khalifah dan ulama (orang-orang berilmu). Para ulama, kelas cendekia yang baru saja muncul, kini semakin berperan sebagai pemimpin sosio-religius komunitas Muslim perkotaan dan mazhab-mazhab intelektual. Dalam praktiknya, kekuasaan khalifah sebenarnya tidak pernah mutlak, tetapi para ulama mulai berteori tentang batasan dan fungsi khalifah mulai abad ke-10 (ke-4 Hijriah).
Para khalifah awal memerintah imperium terbesar di dunia dari kota kecil Madinah sebagai yang pertama di antara yang sederajat (primus inter pares). Model egaliter, terakses langsung, dan berbasis kesalehan ini terbukti tidak sesuai untuk kebutuhan imperium luas yang wilayahnya berjauhan. Kemudian ia berubah menjadi khilafah imperium di zaman Umayyah akhir dan Abbasiyah Tinggi. Pada puncaknya, selama abad ke-8 (ke-2 H) dan ke-9 (ke-3 H), Khilafah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad adalah imperium terkaya dan terbesar yang pernah ada di dunia dari segi harta per kapita.30Khilafah ini juga mengadopsi simbolisme pra-Islam a la Imperium Sasaniyah, di mana seorang kaisar terhormat, demi mewujudkan keadilan total, harus menunjukkan aura absolutis seperti dewa. Kekuasaan khalifah aktual, baik dalam realitas maupun Hukum Islam, sebenarnya terbatas, terkadang sangat drastis. Inilah model khilafah kedua.
Ketika kekuatan aktual khalifah di Baghdad berkurang, muncullah model ketiga ketika khalifah terutamanya menjadi otoritas simbolis dan spiritual; penguasa aktual di berbagai provinsi acap kali adalah gubernur lokal atau komandan militer yang tidak memiliki legitimasi inheren, sehingga tetap menghormati khalifah. Model ini berlangsung selama kira-kira lima abad. Di era klasik inilah mengkristal hukum, teologi, dan pemikiran politik Islam. Kekuatan simbolis khalifah sangat diperlukan, dan pemulihan kekuatan aktualnya masih dimungkinkan. Salah ad-Din, pahlawan Islam termahsyur dari abad ke-12 sekaligus yang merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salib dan banyak dicintai karena menunjukkan kemurahan hati, gugur dalam rangka mencari tetapi tidak mendapatkan persetujuan khalifah di Baghdad; persetujuan ini penting untuk mengabsahkan otoritas seorang penguasa, tidak peduli apa pun prestasinya.
Keberadaan khalifah menjadi semakin jelas mewakili dua kontinuitas penting bagi umat Islam: (1) hubungan simbolis kepada Nabi saw. dan para khalifah yang Terbimbing dengan Benar, yaitu orang-orang yang diteladani perilakunya, dan (2) kontinuitas spasial (atau kesatuan) semua Muslim, yang sedang hidup di dalam masyarakat berjejaring di banyak wilayah Afrika, Asia, dan Eropa, serta diperintah berbagai raja dan gubernur lokal. Kedua kontinuitas ini membuat fragmentasi politik, sektarianisme agama, dan persaingan budaya dapat dikelola dengan baik, sehingga berhasil mencegah kecenderungan sentrifugal terburuk dan mencegah kawasan dari peperangan dan kebiadaban. Masyarakat ini utamanya diatur oleh penguasa lokal dan ulama melalui hukum Islam. Raja atau sultan menjabat sebagai “kepala pelayan” atau, dalam istilah sekarang, sebagai cabang eksekutif, yang penting untuk pertahanan dan pemeliharaan hukum, tetapi selalu dapat diganti. Mereka datang dan pergi tanpa mengubah norma, hukum, atau lembaga dalam masyarakat besar ini. Model ketiga ini disebut “konstitusionalisme Islam klasik.”31Hal ini penting karena, dengan pengecualian beberapa abad pertama, seperti inilah khilafah terwujud dalam sebagian besar sejarah Islam.
Khilafah jauh dari sempurna, dan para ulama paling berpengaruh yang membahas masalah politik—mulai dari al-Mawardi (w. 1058 M/450 H), al-Juwayni (w. 1085 M/478 H), al-Ghazali (w. 1111 M/505 H), hingga Ibnu Taimiyah (w. 1328 M/728 H)—menganggap perampasan kekuasaan khalifah oleh tokoh militer tidak dapat diterima, kecuali dalam situasi luar biasa. Al-Ghazali menyamakan penerimaan terhadap Sultan Seljuk pada masanya (yang berpura-pura menerima otoritas tertinggi Khalifah Abbasiyah tetapi sebenarnya justru mencemooh otoritas ini) seperti memakan bangkai: hal yang hanya diizinkan dalam rangka mempertahankan hidup ketika tidak ada makanan lain. Begitu juga ulama lain, khususnya Ibnu Taimiyah, seperti yang kita lihat nanti. Selama paruh pertama model ini sebelum serangan Mongol pada 1258 M (656 H), kekuatan simbolis khalifah yang berbasis di Baghdad memang signifikan, tetapi bahkan setelah itu pada periode Mamluk—ketika Khalifah Abbasiyah berbasis di Kairo kehilangan semua kekuasaan—di wilayah Muslim yang jauh seperti Delhi dan Timbuktu, surat penobatan dari khalifah sangat penting untuk menandai perbedaan antara perampasan kekuasaan dan legitimasi dalam tubuh politik Muslim.
Model khilafah keempat, yang merupakan campuran antara model kedua dan ketiga, muncul ketika Khilafah Utsmaniyah secara politik menyatukan Eropa Timur, Asia Barat, dan Afrika Utara di bawah satu imperium paling berjaya, stabil, dan kuat selama sekitar empat ratus tahun. Sultan Utsmaniyah (yang mengambil gelar “khalifah” setelah mengalahkan Kesultanan Mamluk di Kairo), menegakkan hukum syariah yang dijabarkan dan dikelola para ulama sebagai mufti dan hakim. Pada saat itu, kekuasaan khalifah-sultan itu terbatas. Pernah seorang sultan digulingkan karena putusan kepala kadi (hakim). Namun para sultan bisa juga berkuasa lalu bertindak sewenang-wenang, melanggar norma-norma Islam yang mengekang kepentingan mereka. Berbeda dari Khilafah Utsmaniyah di Timur Tengah dan Afrika Utara serta Mughal di India, yang memerintah orang Hindu sebagai rakyat mayoritas, saingan Syi’ah mereka, Safawi, mendasarkan legitimasi mereka pada klaim teokratis kukuh. Klaim Utsmaniyah atas khilafah kadang-kadang dibayangkan dengan cara-cara mistis. Sufisme Anatolia membantu membayangkan Khalifah Ottoman sebagai penguasa, pembimbing rohani, dan perumus hukum bagi semua Muslim, meskipun tidak ada upaya politik—dan mungkin tidak terpikirkan—untuk menggabungkan tiga imperium Muslim yang luas menjadi satu tatanan politik.32
Faktor umum penting dalam tiga model terakhir adalah khalifah tidak memiliki otoritas agama kecuali dalam urusan publik yang terbatas. Di zaman Utsmaniyah, para sufi dapat mengandaikan khalifah sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi, dan bahkan ilmu gaib dapat digunakan untuk membuat ramalan dan membenarkan kebijakan, tetapi mazhab hukum Hanafi (tulang punggung imperium ini) memastikan klaim seperti ini hanya beredar di pondok-pondok sufi. Bernard Lewis, pakar studi Orientalis neokonservatif properang yang terkenal, mengakui hal ini: teokrasi dalam Islam (Sunni) tidak mungkin ada. Pluralisme epistemologis yang melekat dalam yurisprudensi Sunni dan tidak adanya lembaga seperti gereja abad pertengahan untuk berbicara atas nama Tuhan menghalanginya. Keragaman suara yang menafsirkan kitab suci dan tradisi berarti dua hal: bahwa otoritas agama itu terbagi dan polifonik serta elite penguasa tidak akan pernah bisa mengontrol otoritas agama, dan, sebagai hasilnya, muncullah sistem organik sosial-keagamaan bagi keseimbangan kekuasaan.
Singkatnya, model khilafah ketiga dan keempat, yang berlangsung selama seribu tahun, bukanlah teokratis ataupun absolutis. Secara umum, kebebasan komunitas yang hidup di bawah kekuasaan mereka terjamin: Muslim dari berbagai mazhab, Yahudi, Kristen, dan penduduk lain dapat hidup sebagai komunitas yang relatif bebas. Meskipun jauh dari sempurna, sistem ini lebih efektif dalam memfasilitasi kehidupan yang adil dan berpusat pada Tuhan dibandingkan banyak negara Muslim modern dan bahkan negara demokrasi. Berbeda dari model liberal modern, komunitas dan norma-norma komunal dianggap perlu untuk menjamin keberadaan manusia yang layak, itulah sebabnya bahkan non-Muslim pun bebas hidup dengan norma-norma agama yang mereka yakini. Pada kedua model ini, neraca antara hak individu dan komunal sering berat ke arah komunal. Para khalifah Utsmaniyah, seperti halnya kaisar Romawi dan Yunani, adalah administrator dan pembangun lembaga, yang mengubah dhimmi (model komunitas yang dilindungi berbasis Al-Qur’an) menjadi lembaga yang mencakup berbagai komunitas agama dan diwakili para pemimpin mereka di Ibu kota Utsmaniyah. Ini dikenal sebagai sistem millet.33
Ketika negara-bangsa modern abad ke-19 menghadapi Khilafah Utsmaniyah dalam posisi setara dan kemudian melampaui kekuatan ekonomi dan militernya, Khilafah ini menyesuaikan dan akhirnya memodernisasi militer, perekonomian, dan masyarakat mereka—sesuai urutan ini—dalam waktu yang relatif singkat. Batas-batas organik, sosial, dan komunal lama terhadap kekuasaan sultan diganti dengan konstitusi, tetapi Khilafah ini tidak selamat dari Perang Dunia Pertama. Para sejarawan modern berpendapat bahwa gambaran sebuah rezim bobrok yang tidak dapat bertahan (ingat gagasan yang menyebut Khilafah Utsmaniyah sebagai “orang sakit Eropa”) sebagai sesuatu yang tidak benar; pada kenyataannya, Khilafah ini bisa selamat jika mereka berada di pihak pemenang perang. Kita bisa menyebut khilafah konstitusional yang berumur pendek ini sebagai model potensial kelima.
Teori tentang khilafah
Dalam upayanya memisahkan esensi khilafah dari berbagai perwujudannya, tradisi Sunni pun berteori tentang khilafah secara cermat, menetapkan dasar-dasar kewajiban, fungsi, sifat, dan batasannya, serta menanggapi perubahannya sambil berusaha tetap setia kepada model rasyidin. Upayanya ini kompleks; semua perselisihan yang bisa muncul pun terwujud, dan para ahli hukum-teolog terkemuka terus-menerus memikirkan ulang secara cermat segunung bukti dan justifikasi khilafah. Tidaklah mengherankan apabila teorisasi lembaga khilafah seperti ini pertama kali terjadi di kalangan ulama Sunni pada abad ke-11 (ke-5 H), tepat pada saat keberadaan lembaga ini terancam. Keharusan adanya khilafah untuk melanjutkan kesatuan dan keberadaan komunitas agama selama dua abad awal Islam membuat pembelaan teoretis yang ekstensif pada waktu itu tidak diperlukan, meskipun kita menemukan salah satu surat yang paling awal diarsipkan dalam Peradaban Islam, yaitu yang disuratkan oleh sekretaris Khilafiah Umayyah ʿAbd al-Ḥamīd al-Kātib (w. 750 M/132 H), isinya berkaitan dengan teori dan pembelaan atas khilafah sebagai lembaga yang diamanatkan Allah untuk melanjutkan misi Rasulullah.34
Semua mazhab dan sekte Islam yang bertahan sepakat tentang kewajiban menunjuk satu pemimpin bagi segenap Muslim. Kaum Sunni dan Syi’ah menyepakati hal ini tetapi konsepsi mereka berbeda. Kaum Syi’ah Imamiyah memasukkan kepercayaan kepada seorang imam—keturunan terpilih dari keluarga Ali—dalam rukun imannya, sementara kewajiban kepada Tuhan (sebagai luṭf, atau rahmat Ilahi), yang berarti mengetahui dan meyakini satu imam yang benar (bahkan sekalipun ia tidak berkuasa atau tidak ada secara fisik), adalah kewajiban semua manusia.35Syi’ah Zaidiyah percaya kepada hak memerintah keturunan keluarga Ali, tetapi orang itu mestilah sosok yang layak, yang kemampuannya dinilai berdasarkan keberhasilannya melawan pemerintahan yang zalim. Sebaliknya, kaum Sunni menganggap pendirian khilafah sebagai kewajiban kolektif. Perbedaannya tipis: bagi Syi’ah, ketidakpercayaan kepada imam yang benar itu adalah sesat dan bahkan dapat membatalkan iman seseorang; bagi Sunni, kegagalan dalam mendudukkan imam yang sah itu adalah dosa. Kaum Ibadiyah (sekte moderat dan satu-satunya dari Khawarij yang bertahan) percaya kepada kewajiban seorang imam/khalifah yang adil, tetapi—berbeda dari Syiah dan kebanyakan Sunni, dan kebanyakan Sunni pasca-Utsmaniyah—mereka tidak mensyaratkan calonnya harus berasal dari kelompok Quraisy atau garis keturunan tertentu.36
Ada berbagai pendapat kemungkinan terwujudnya kehidupan Islami tanpa khalifah. Ulama seperti al-Ghazali bahkan menolak legitimasi kehidupan Islami dalam kondisi ini. Ulama lain, seperti gurunya yang sekaligus merupakan teolog Asy’ariyah dan ahli hukum Syafi’i utama pada masanya, Abū al-Maʿālī al-Juwayni, membahas kondisi ini dalam risalahnya yang brilian dan imajinatif, Ghiyāth al-umam fī-l-tiyāth al-ẓulam.37Dia menulis tentang masa depan distopis, ketika umat Islam mungkin tidak memiliki khalifah yang layak, atau tidak memiliki khalifah sama sekali, sehingga para ulama lah yang harus memimpin masyarakat, atau bahkan tidak ada ulama yang layak dan instruksi bagi umat Islam untuk menghadapi kondisi-kondisi ini. Lantaran tidak puas mengutip sejumlah ayat tidak langsung dan hadits tunggal (āḥād), dia pun menegaskan bahwa karena kewajiban definitif khilafah membutuhkan bukti mutlak maka ia harus ditetapkan atas dasar konsensus para sahabat, otoritas tertinggi bagi kewajiban agama.38Menurutnya banyak orang berakal tidak bisa menyepakati jawaban rasional yang berbeda-beda tanpa alasan, dan alasan ini, dalam kasus para sahabat, pastilah pemahaman bersama tentang ajaran Al-Qur’an dan dan Rasulullah saw. Oleh karenanya, konsensusnya bukanlah suatu kebetulan atau lahir dari kebutuhan belaka. Sebagaimana ditunjukkan oleh keberatan awal kelompok Anṣār dalam pertemuan mereka di Serambi Banū Sāʿida, yang akhirnya berujung pada persetujuan setelah musyawarah karena Abu Bakar dan Umar melihat dengan jelas, dan semua orang kemudian setuju, bahwa kebutuhan akan Khilafah tercipta dari kewajiban Islam yang tak terbantahkan.
Pada periode pasca-Mongol (abad ke-13 M/ke-7 H), kecenderungan pragmatis untuk membenarkan perebutan kekuasaan oleh orang kuat dalam kondisi mendesak memunculkan pembenaran atas perebutan kekuasaan oleh siapa pun yang dapat melindungi seluruh umat Islam atau sebagiannya. Para penulis paling orisinal dalam periode ini, termasuk Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah, menegaskan kewajiban khilafah tetapi juga membuka jalan baru dalam pemikiran politik. Ibnu Khaldun berteori tentang basis sosial, material, dan psikologis kekuatan politik, sehingga melahirkan teori sejarah dan politik beberapa abad sebelum pemikiran seperti ini menjadi umum pada periode modern. Ibnu Taimiyah, tanpa mempertanyakan kewajiban khilafah, mengakui ketidakefektifan khilafah pada periode pasca-Mongol dan berusaha memulihkan semangat komunal dan model politik di mana menegakkan syariah menjadi dimensi sentral dari legitimasi penguasa. Sebelum Baghdad dihancurleburkan oleh Mongol, khilafah dipandang telah menciptakan dunia yang di dalamnya syariah dapat diwujudkan dan dikembangkan. Fakta ini, ditambah klaim kontinuitas khilafah hingga ke Nabi saw., lebih diutamakan daripada justifikasi dari Al-Qur’an: khilafah dianggap lebih besar daripada syariah. Para ulama, seperti al-Mawardi dan al-Ghazali, memberikan bukti tentang khilafah hanya ketika mereka merasa bahwa khilafah tengah terancam. Di dunia pasca-Mongol, adalah syariah yang memberikan dorongan untuk menciptakan pemerintahan Islam di mana-mana sampai khilafah yang sesungguhnya dapat dipulihkan. Ibnu Taimiyah memberikan argumen pertama untuk politik Islam seperti ini; kemudian ulama dari semua mazhab—dan terutama dalam pemikiran politik Utsmaniyah—mengakui kewajaran perkembangan “politik Syariah” ini.39
Untuk memberikan substansi dan bentuk pada klaim-klaim yang baru saja dikemukakan, marilah kita perhatikan contoh jenis klaim dan justifikasi khilafah yang diberikan oleh para ulama dari berbagai mazhab. Cendekiawan ensiklopedis Ẓāhirī Ibnu Ḥazm (w. 1064 M/456 H), yang hidup di Spanyol, di luar wilayah tradisional Khilafah Abbasiyah, menulis:
Semua Ahlus-Sunnah, semua Murji’a, semua Syi’ah, dan semua Khawarij sepakat dengan bulat tentang kewajiban Imamah dan kewajiban umat Islam mematuhi Imam nan adil yang mengelola urusan mereka dengan hukum-hukum dari Allah dan Rasul-Nya. Satu-satunya pengecualian adalah para Najadāt dari Khawarij, yang mengatakan suatu masyarakat tidak berkewajiban memiliki seorang imam; masyarakat itu sendirilah yang bertanggung jawab memenuhi hak para anggotanya.40
Ibn Ḥazm merujuk kepada segelintir kaum radikal selama Perang Saudara Kedua (680–692 M/60-70-an H), ketika para Khawarij dan sejumlah Muʿtazilah bahkan sampai mempertanyakan kewajiban khilafah pada hari-hari perpecahan awal yang keras. Tetapi pada waktu itu, bahkan doktrin dasar seperti otoritas hadis, validitas analogi rasional, kebenaran dua khalifah rasyidin terakhir, dan bahkan kesucian nyawa seorang Muslim pun mereka pertanyakan. Seorang “pemikir bebas” dari golongan mereka berpendapat hampir secara kontra-faktual: jika semua orang beriman secara sukarela hidup menurut hukum Ilahi maka pemerintahan tidak diperlukan. Senyatanyalah bahwa dia tidak menyarankan pemerintahan sekuler sebagai alternatif, melainkan menyangkal kebutuhan tatanan politik sama sekali. Seorang “pemikir bebas” lainnya berargumen, hampir secara hiperfaktual, bahwa situasi tanpa imam hanya berlaku pada masa perang saudara, ketika imam mana pun tidak perlu dipatuhi.41Namun, secara keseluruhan, kebutuhan akan seorang khalifah dengan mudah dan bulatnya disepakati dibandingkan dengan banyak doktrin lain yang sekarang dianggap mendasar.
Dalam al-ʿAqāʾid al-Nasafiyya, karya dari ahli terkemuka bermazhab Hanafi-Maturidi, Abū Ḥafṣ al-Nasafī (w. 1142 M/537H), disebutkan: “Umat Islam harus memiliki seorang imam untuk menegakkan aturan mereka, menetapkan ḥudūd, dan mempertahankan perbatasan ….” Polimat dan teolog Persia bernama Asy’ariyah al-Taftāzānī (w. 1390 M/792 H) mengomentari:
Konsensusnya, mengangkat seorang imam itu wajib. Perselisihannya adalah pada seputar apakah wajib bagi Allah atau makhluk-Nya, berdasarkan bukti wahyu ataukah rasional. Dan mazhab [kami] menyatakan itu adalah wajib bagi makhluk-Nya berdasarkan wahyu, seperti sabda Nabi saw., “Barangsiapa meninggal tanpa mengenal imam, dia meninggal dalam kejahilan pra-Islam,”42yang menjadi alasan umat Islam mengutamakan pengangkatan imam daripada penguburannya (yaitu, Nabi saw.), sebagaimana yang harus dilakukan setelah kematian setiap imam, karena banyak kewajiban Syariah bergantung padanya.43
Mengomentari situasi di zamannya ketika wilayah sentral Islam (Suriah, dan Mesir) berada di bawah kuasa bangsa Mamluk dan wilayah timurnya (Persia dan Transoxiana) telah dihancurkan Timurleng, Taftāzānī menjelaskan mengapa harus ada hanya satu imam untuk semua wilayah:
Jika ditanyakan: mengapa tidak cukup mengangkat seorang penguasa di setiap daerah, atau mengapa wajib mengangkat seseorang yang memiliki otoritas umum (al-riyāsa al-ʿāmma)?” kami jawab: “karena ia akan menyebabkan konflik dan permusuhan, yang akan mengarah pada kerusakan urusan agama dan dunia, seperti yang kita saksikan di zaman kita sendiri”.44
Dia kemudian bertanya, dengan gaya dialektis yang khas, mengapa penakluk seperti bangsa Turki di zamannya (kemungkinan besar dia merujuk kepada Timurleng) tidaklah cukup dan mengapa, oleh karenanya, wajib ada seorang imam. Dia menjawab penakluk semua wilayah Muslim seperti itu memenuhi sejumlah fungsi, tetapi “masalah agama, yang paling penting dan pilar utama dari segalanya, akan rusak tanpa imam.”45
Menulis di zaman yang sama di bagian barat Dunia Islam, sejarawan besar dan ahli hukum bermazhab Mālikī, Ibnu Khaldun (w. 1406 M/808 H), meringkas konsensus yang ada sebagai berikut:
Mengangkat seorang pemimpin itu wajib. Sifat wajibnya diketahui dari hukum yang diwahyukan melalui konsensus para Sahabat dan generasi Tabiin. Itulah mengapa para sahabat, setelah kewafatannya Nabi saw., segera bersumpah setia dan menyerahkan pengelolaan urusan mereka kepada Abu Bakar r.a. Demikian juga di setiap zaman sesudahnya, sehingga masalah ini ditetapkan sebagai konsensus yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang pemimpin.46
Ibnu Khaldun kemudian melanjutkan, sesuai komitmen Asy’ariyahnya, bahwa kewajiban mendirikan khilafah (seperti semua kewajiban lainnya) berasal dari hukum yang diwahyukan, bukan akal, sehingga tidak dapat ditangguhkan oleh penilaian rasional. Ibnu Khaldun sangat menjunjung tinggi khilafah; dia menulis mahakaryanya dalam rangka menjelaskan sejarah khilafah dan menganjurkan kebangkitannya. Seorang cendekiawan Barat pengkaji peradaban Islam, Hamilton Gibb, berpendapat bahwa khilafah menempati posisi sentral dalam karya Ibnu Khaldun. Ini dapat disimpulkan dari cara bab-babnya disusun secara logis untuk berujung pada khilafah, yang di dalamnya dia membahas organisasi terkait secara terperinci sebelum menganalisis penyebab kemerosotan hingga kehancuran khilafah itu. Itu secara terang benderang mengesankan bahwa dia, selain menganalisis evolusi kekuatan politik dan solidaritas kelompok, juga—seperti halnya ahli hukum Islam lain pada masanya—menaruh perhatian kepada masalah pendamaian tuntutan ideal syariah dengan fakta-fakta sejarah.47Ulama lain, termasuk dari kelompok Muʿtazilah, Syi’ah, dan tradisionalis seperti Ibnu Taimiyah, berpendapat bahwa kewajiban khilafah, seperti semua kewajiban lainnya, diketahui sekaligus dari wahyu dan akal.48
Para ulama memberikan berbagai alasan, atau fungsi-fungsi rasional, yang mewajibkan keberadaan pemerintah. Bagi sebagian ulama, fungsi-fungsi ini adalah penyebab kewajiban; sementara bagi ulama lain fungsi-fungsi ini adalah manfaat dari kewajiban, namun kewajiban itu sendiri tidak bergantung kepada manfaat apa pun. Bagi mereka yang menekankan keharusan ritual mutlak khilafah demi keabsahan kehidupan Islami, seperti al-Mawardi dan, terlebih lagi, al-Ghazali, mengangkat khalifah adalah wajib hukumnya, sekalipun jika khalifah itu sudah tak lagi memiliki kekuasaan efektif (shawka, munna) sehingga harus bergantung kepada orang lain (misalnya, sultan) untuk menegakkan fungsi-fungsi dasarnya. Bagi ulama lain, seperti al-Juwayni dan Ibnu Taimiyah, kekuasaan yang efektif dalam menegakkan ḥudūd, memelihara hukum dan ketertiban, serta melindungi masyarakat dan agama, merupakan unsur penting dari definisi khalifah.
Para ulama terus mereproduksi alur pemikiran ini sampai hari ini. Seorang ahli hukum asal Damaskus dari abad ke-17 (ke-11 H) mencatat dalam ringkasan otoritatifnya tentang yurisprudensi Hanafi:
Keimaman besar (khilāfa) adalah hak umum atas pengelolaan urusan umat. Pengkajiannya ada dalam ranah kalam (yaitu, teologi) dan pendiriannya adalah kewajiban yang paling penting. Oleh karena itu, mereka (para sahabat) memprioritaskannya di atas penguburan Sang Pemilik Mukjizat (baca: Rasulullah) saw.49
Mengapa khilafah menjadi begitu penting bagi akidah Islam? Alasan terpenting adalah karena ia merupakan masalah utama Islam—seperti halnya Trinitas bagi Kekristenan. Penjabaran tentang siapa pemimpin umat yang sah sangatlah penting untuk mendefinisikan iman sejak sekte-sekte sempalan awal mempertanyakan kejujuran dan kesesuaian komunitas arus utama sebagai pembawa dan perwujudan pesan Allah. Oleh karenanya, menjustifikasi kejujuran komunitas yang melestarikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. merupakan “ruang masalah” sentral yang di dalamnya lah banyak pemikiran Islam terbentuk selama dua abad pertama peradaban Islam.50
Contoh pertama keputusan bulat para sahabat untuk mendeklarasikan kesatuan politik umat Islam sebagai perhatian utama, yang tercermin dalam pemilihan Abu Bakar, benar-benar terkonsolidasikan dalam konsensus mereka untuk berperang melawan orang-orang yang telah memisahkan diri dari otoritas Madinah. Tidak hanya berpendapat abstrak, mereka mengangkat senjata terkait hal ini. Mereka mengikuti tindakan Nabi sendiri terhadap orang-orang yang meninggalkan umat Islam atau mencoba memecah-belahnya.51Konsensus awal para sahabat ini ditegaskan berulang kali. Penegasan konsensus berikutnya dapat disaksikan ketika Ali (yang berbasis di Irak) berperang melawan Muʿawiyah (berbasis di Suriah) di Ṣiffīn; Ali tidak pernah menerima gagasan yang hendak membagi umat Islam menjadi dua guna mencegah pertumpahan darah. Demikian pula ceritanya, ʿAbdullāh bin al-Zubayr di Makkah juga tak membagi umat Islam demi perdamaian saat dia mesti menghadapi Bani Umayyah di Suriah. Ketika Ibnu ‘Umar dan otoritas terkemuka lainnya menolak berjanji setia kepada Ibnu al-Zubair, mereka melakukannya persis karena alasan ini: umat Islam belum bersatu di bawahnya.52
Pandangan ulama klasik Sunni tentang fungsi khalifah terwakili dalam pernyataan yang dialamatkan kepada Imam Ali. Ketika golongan radikal dalam pasukannya menggugat haknya sebagai pemimpin menerima arbitrase pemberontak Suriah, dia menanggapi dengan menekankan perlunya seorang pemimpin untuk mengatur urusan umat:
Ali berkata, “Setiap umat harus memiliki pemimpin (imāra), baik saleh atau tidak.” Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, kami paham jika pemimpin itu adalah orang saleh, tetapi bagaimana jika dia adalah orang fasik?” Dia menjawab, “Dengan pemimpin maka [hukum] ḥudūd ditetapkan, jalan-jalan umum dilindungi, jihād dilakukan melawan musuh, dan rampasan perang dibagi.53
Jika pemerintahan secara umum merupakan kebutuhan rasional, maka khilafah dipandang sebagai bentuk pemerintahan Islam yang benar. Analoginya seperti pernikahan, penjodohan pria dan wanita untuk kebersamaan dan reproduksi: semua budaya manusia memutuskan bentuk lembaga ini, menciptakan batasan, upacara, ritual, dan doanya. Pernikahan Islam pada intinya tidaklah berbeda secara fungsi dasarnya, tetapi banyak bentuk kohabitasi yang lazim dalam tradisi lain dilarang dalam Islam, maka ditambahkanlah batasan, ritual, dan norma hukum tertentu sehingga menjadikannya selaras dengan Islam. Dus, Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam al-Siyāsa al-sharʿiyya:
Harus diketahui bahwa otoritas pemerintahan (wilāya) atas urusan rakyat adalah salah satu kewajiban terbesar agama, dan, pada kenyataannya, agama tidak dapat didirikan tanpanya, karena kesejahteraan Bani Adam tidak dapat dijamin kecuali mereka bersama memenuhi kebutuhan satu sama lain. . . Inilah sebabnya mengapa semua hal yang diwajibkan [Allah], seperti jihād, keadilan, ibadah haji, salat Jumat, hari raya Idul Fitri, membantu orang terzalimi, dan ḥudūd hanya dapat ditegakkan dengan kekuasaan dan otoritas.54
Yang membedakan khilafah dari pemerintahan lainnya, pertama dan terutama, secara formal, adalah prinsip-prinsip dasarnya (sumber, batas, tujuan, dan fungsinya).
Karya klasik nan definitif perihal khilafah ditulis oleh al-Mawardi, hakim kepala Baghdad sekaligus ulama Syafi’i terkemuka pada masanya. Ia memberikan deskripsi standar khalifah, yaitu, khalifah adalah “penerus Nabi yang melindungi agama serta mengelola dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan agama.”55
Hampir semua definisi menyebutkan unsur-unsur ini, yaitu seorang khalifah:
- menggantikan Rasulullah, tetapi bukan nabi dan tidak pula maksum sifatnya, serta mendapatkan kesetiaan seluruh umat Islam, dan
- mengatur urusan agama dan duniawi umat Rasulullah, yang secara efektif berarti melindungi agama, mempertahankan perbatasan, menegakkan hukum dan ketertiban, dan mendistribusikan sumber daya.
Dengan kata lain, seorang khalifah didefinisikan sebagai pemimpin semua pengikut Nabi Muhammad saw., bukan terutamanya penguasa suatu wilayah, negara, sekte, atau kelompok Muslim—meskipun dia mau tidak mau memerintah dan melindungi wilayah umat Islam.56
Khilafah bukanlah kerajaan
Sejak awal, umat Islam membedakan antara pemerintahan Islam yang benar, yang mereka sebut khilāfa, dan otoritas politik pada umumnya, yang mereka sebut mulk. Perlu dicatat bahwa kata mulk memiliki konotasi ganda dalam bahasa Arab: ia dapat merujuk pada otoritas politik apa pun, seperti khilafah. Ia juga dapat berfungsi sebagai kata sindiran bagi kerajaan buruk yang penguasanya memperlakukan rakyat dan kekayaannya sebagai khazanah pribadinya. Seperti disebutkan sebelumnya, umat Islam awal menghindari penggunaan istilah malik (raja) bagi penguasa mereka karena membenci ketidaksetaraan yang tersirat dalam istilah ini.57Sebuah hadis yang menggambarkan hal ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, sedangkan sahabat Nabi yang bernama Jarir bin Abdallah menyatakan bahwa seorang bijak dari Yaman mengatakan kepadanya,
Kalian orang-orang Arab akan bernasib baik jika bermusyawarah menggantikan pemimpin yang meninggal, karena jalan pedang hanya akan menghasilkan raja (mulk), di mana kemarahan dan kesenangan mereka seperti kemarahan dan kesenangan raja.58
Pembedaan ini tetap berlaku sepanjang periode abad pertengahan. Seorang ulama bermazhab Mālikī, al-Maqarrī al-Tilimsānī, menjawab dengan tegas ketika sejumlah sufi (fuqarāʾ) bertanya tentang kemalangan umat Islam terkait raja-raja (mulūk) mereka yang sering bertindak tanpa keadilan dan kesalehan. Dia menjawab,
Kedudukan raja (mulk) tidak ada dalam Hukum (shar’) kita; tetapi ada dalam hukum orang-orang sebelum kita, sebagaimana disebut Allah terkait nikmat-Nya kepada orang Israel. . . . Dia [Allah] hanya menghalalkan khilāfa bagi kita.59
Al-Maqarrī kemudian mengidentifikasi bahwa perbedaan utama antara keduanya (khalifah dan raja) adalah pandangannya akan otoritas sebagai milik pribadi seseorang yang dapat diteruskan kepada para putranya secara turun-temurun (dinasti). Jadi, yang membuat khilafah berbeda dari kerajaan adalah bahwa dahulu kepentingan umat berada dalam posisi sentral dan otoritas dijalankan sebagai amanah.
Ibnu Taimiyah membentangkan secara lebih eksplisit lagi. Kewajiban khilafah tidak terpenuhi oleh kerajaan, sekalipun jika hanya ada satu raja umat Islam yang adil. Kewajiban hanya terpenuhi dengan mengangkat seorang khalifah, penguasa yang memerintah dengan amanah, tidak sewenang-wenang, mengikuti pemerintahan Nabi saw. dan para khalifah awal.
Timbul pertanyaan apakah kerajaan (mulk) itu sah dan khilafah kenabian hanya pilihan yang lebih disukai atau apakah ia haram dan hanya dapat dibenarkan karena ketiadaan pengetahuan [tentang kewajibannya] atau kemampuan mendirikan khilafah.
Dalam pandangan kami, kerajaan pada dasarnya tidak sah, dan kewajibannya adalah mendirikan khilafah kenabian. Nabi saw. bersabda, “Kamu harus mengikuti amalanku dan amalan para khalifah yang terbimbing benar setelah aku; berpegang teguhlah padanya. Jauhi bid’ah (tanpa justifikasi) dan ingatlah bahwa setiap bid’ah (seperti itu) adalah sesat” … Oleh karenanya, hadis ini adalah perintah; hadis ini mendorong kita mengikuti praktik Khilafah [Nabi], memerintahkan kita mematuhinya, dan memperingatkan kita agar tidak menyimpang darinya. Perintah ini berasal dari Nabi saw. yang menjadikan pendirian khilafah sebagai kewajiban … Sekali lagi, fakta bahwa Nabi saw. menyatakan ketidaksukaannya terhadap kerajaan, yang muncul seusai khilafah kenabian, membuktikan bahwa kerajaan tidak wajib dalam agama. … Mereka yang membenarkan monarki berdalil dengan sabda Nabi kepada Muʿawiyah, “Jika Anda mendapatkan jabatan raja, jadilah baik dan penyayang.”60Tetapi argumen (yang meyakinkan) tidak ada di sini … Pendirian khilafah adalah kewajiban, dan pengecualian darinya hanya diperbolehkan atas dasar kebutuhan.61
Lenyapnya khilafah
Kebutuhan agama akan khilafah tidak dipertanyakan sampai abad ke-20, ketika argumen menghapus Khilafah Utsmaniyah disuarakan kaum nasionalis Turki dan diterima, setidaknya di tengah para elite, akibat seabad sekularisasi dan Eropanisasi. Momen menentukan dalam transisi ini adalah pidato selama tujuh jam oleh seorang ulama modernis Utsmaniyah, Seyyid Bey, di Majelis Nasional Besar Turki (MNBT) pada 1924, ketika dia menyatakan mendukung terwujudnya sebuah Republik Turki, yang tragisnya, atas dasar Islam.62Kampanye sekularisasi agresif para Kemalis dan de-Islamisasi kehidupan sosial, yang disusul oleh kekerasan pada dekade-dekade berikutnya, tentu saja bukan bagian dari rencana Seyyid Bey, tetapi dia bukanlah ulama pertama atau terakhir yang dijadikan sebagai tentara intelektual tetapi kemudian dibuang orang kuat. Apa yang dilakukan Atatürk selanjutnya boleh dikatakan mengilhami Hitler dan Mussolini.63
Pembelaan teoretis yang paling berpengaruh terhadap penghapusan khilafah atau apa yang mungkin disebut sekularisme politik muncul setelah pembubarannya ketika seorang ulama Mesir lulusan Al-Azhar, ‘Ali Abd al-Raziq (1888–1966), menulis al-Islām wa-uṣūl al-ḥukm (Islam dan Fondasi Hukum, 1925). Dia berpendapat bahwa Islam adalah agama pribadi serta semua tindakan politik Nabi saw. dan penerusnya (yaitu, khalifah) adalah kebetulan dan terpisah secara konseptual dari Islam sebagai agama. ‘Abd al-Raziq pernah belajar dua tahun di Oxford ketika pendidikannya terputus akibat Perang Dunia I, dan keluarganya berperan mendirikan Partai Konstitusionalis Liberal (Ḥizb al-Aḥrār al-Dustūriyyīn, memisahkan diri dari Wafd, yang merupakan partai antikolonial nasionalis sekuler; agenda Ḥizb al-Aḥrār lebih sekuler lagi karena menganjurkan peniruan negara-negara Barat). ‘Ali Abd al-Raziq sendiri adalah seorang politisi dan telah mencalonkan diri melalui partai itu, meski gagal, dalam pemilihan Parlemen 1923–1924.64Singkatnya, dia menulis kitab itu sebagai seorang politisi dengan agenda yang jelas, bukan sekadar ulama, meskipun belakangan khalayak telah salah memahami karyanya sebagai bid’ah heroik dengan kedalaman mistik. Bukunya memaksakan pembacaan ahistoris tentang misi Rasulullah juga para khalifah berikutnya dan pemahaman modernitas yang sama dangkalnya. Para ulama al-Azhar mengutuk bukunya dan secara resmi memecatnya, selain itu para ulama terkemuka di Dunia Islam juga menulis banyak sanggahan terperinci terhadap bukunya.65Sebetulnya, buku kontroversial ‘Ali Abd al-Raziq akhirnya justru memusatkan perhatian para ulama terkemuka abad ke-20 pada pembelaan khilafah, dan menjadi contoh terkini dari konsensus baru dalam periode modern di kalangan otoritas Islam terkemuka di seluruh dunia. Namun, kekuatan argumen sering kali bukan pada kekukuhan teoretisnya, melainkan pada ketepatan momennya. Kaum nasionalis dan sekularis Arab telah mendapatkan pendukung agenda mereka.
Apakah Nabi saw. mendirikan negara?
‘Ali Abd al-Raziq berargumen bahwa risalah Nabi saw. bersifat keagamaan dan kerohanian, bukan politis. Buktinya adalah klaim bahwa Al-Qur’an tidak pernah memerintahkan khilafah, begitu pula Sunnah.66Dia pasti tahu jika Al-Qur’an tidak menyebut atau menamai sesuatu, itu bukanlah argumen untuk ketidakwajiban atau ketidakvalidannya. Lagi pula, Al-Qur’an tidak menyebutkan jumlah salat harian, atau menentukan koordinat geografis kota tempat Nabi saw. dilahirkan, atau tempatnya dimakamkan, dan seterusnya; hal-hal ini hanya diketahui melalui transmisi pengetahuan dari para sahabat dan generasi berikutnya. Menurut para ulama secara umum, Al-Qur’an menyebutkan kewajiban langsung dan tidak langsung bagi komunitas beriman (disebut dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang beriman atau ummah) untuk bersatu di bawah pemimpin dari kalangan mereka, di samping Al-Qur’an juga berisikan banyak perintah konstitusional, politik, dan hukum—yang hanya dapat diterapkan dalam pemerintahan Islam otonom. Signifikansi perintah langsung seperti surah an-Nisaa ayat 59 (“Taatilah … pihak yang memiliki otoritas di antara kamu”)67dikonsolidasikan dengan perintah dan referensi tidak langsung yang tak terhitung banyaknya. Contohnya,
- keharusan menjadi komunitas berbeda yang anggotanya dilarang menjalin aliansi kompromistis dengan orang luar;
- perintah membuat perjanjian perang, perdamaian, dan politik sebagai komunitas berdaulat;
- tidak menaati hukum selain hukum Allah, sehingga komunitas harus berdaulat secara hukum;
- menegakkan hukum dalam semua bidang kehidupan kolektif, termasuk hukum pidana, kehidupan perkawinan dan sosial, peraturan komersial dan keuangan, dan seterusnya; dan akhirnya,
- “kebijakan luar negeri” yang berbeda ketika Nabi saw. mengirimkan surat kepada para penguasa dan kaisar negara tetangga (yang menyiratkan kewajiban penerusnya menindaklanjuti surat-surat ini), di samping perangnya untuk menghukum para nabi palsu seperti Ṭalḥa, Musaylima, serta suku-suku lain yang berkhianat dan memberontak setelah masuk Islam,68serta perintahnya untuk menyiapkan perang di perbatasan Romawi sebelum dia wafat, dan seterusnya.
Semua faktor ini tentu saja menuntut para pengikut Nabi saw. agar membentuk komunitas politik yang berdaulat dan mengendalikan, jika bukan memonopoli, alat-alat kekerasan. Hal-hal di atas merupakan fakta sejarah tidak terbantahkan yang menunjukkan bahwa penerus Nabi saw. hanya mematuhi perintahnya dan melanjutkan kebijakannya. Dari perspektif sejarah, seandainya para sahabat dan kemudian Bani Umayyah tidak melanjutkan aktivisme politik dan militer Nabi, Islam tidak akan lebih dari sekadar pengetahuan tribal yang terlupakan dalam untaian sejarah.
Sunnah jauh lebih eksplisit tentang masalah penerus kepemimpinan. Banyak hadis memerintahkan ketaatan kepada penerus Nabi saw. sebagaimana disebut Ibnu Taimiyah di atas. Faktanya, ‘Ali ‘Abd al-Raziq tampaknya tidak menyadari bahwa para ulama terkemuka telah membahas keprihatinannya secara panjang lebar. Sebagai ulama pengikut mazhab Asy’ariyah yang tidak menerima hadis tunggal (āḥād) sebagai dasar kepastian, dan membatasi pengetahuan definitif hanya pada hadis yang diriwayatkan berkali-kali (mutawātir), Al-Juwayni menulis karyanya di atas untuk secara gamblang memberikan bukti tak terbantahkan tentang kewajiban khilafah. Sebaliknya, Ibnu Taimiyah—yang berpendapat bahwa kepastian itu mungkin walaupun berdasarkan hadis yang tidak mutawātir, dan kemampuan akal menetapkan kewajiban agama—menggunakan banyak hadis sahih sekaligus konsensus dan argumen rasional, untuk menyatakan hal yang sama.69
Namun, kesalahan besar ‘Abd al-Raziq adalah konseptual: dia tampaknya telah mengambil dikotomi agama-versus-politik modern dari Eropa dan—karena tidak menyadari dikotomi yang baru dibuat ini, asing bagi Islam dan berasal dari kecenderungan otokratis penguasa Eropa yang memanipulasi agama untuk dekadensi mereka—menerapkannya pada teologi dan sejarah Islam. Bagi siapa pun yang tidak terdidik dalam sekularisme Barat, pemisahan perintah Al-Qur’an dan Sunnah sebagai ‘religius’ atau ‘sekuler’ akan tampak sewenang-wenang dan tidak dapat dijustifikasi.
Serangan ‘Abd al-Raziq menjadi kuat karena dia mengerti taruhannya: dia tidak hanya meremehkan bukti dari Al-Qur’an dan diskursus tradisional yang disebutkan di atas tentang masalah ini, tetapi langsung menyerang Abu Bakar dan para sahabat lainnya atas Perang Ridda, yang merupakan langkah pertama konsolidasi otoritas politik Madinah di Arab. Menurut ‘Abd al-Raziq, mereka pada dasarnya setuju dengan Abu Bakar, mau atau tidak, dalam mengobarkan perang duniawi atas nama agama melawan suku-suku Muslim yang sebenarnya baik namun menentang otoritas Madinah.70Disadari atau tidak, ‘Abd al-Raziq bersedia mencampakkan bukan hanya konsensus tetapi juga integritas para sahabat terdekat Rasul Terakhir Allah, orang-orang yang integritasnya justru dijamin dalam Al-Qur’an, dan dari merekalah diambil konsensus yang merupakan satu-satunya jaminan pelestarian Al-Qur’an itu sendiri. Bersama-sama, kedua hal ini membentuk fondasi Islam yang paling mendasar.
Kerinduan kepada khilafah
Untuk mengetahui seberapa dalam umat Islam merasakan cita-cita kesinambungan dan persatuan dalam khilafah, ada baiknya kita melihat sekilas betapa kehilangan dan keterputusan khilafah dialami bukan hanya pada tingkat politik tetapi juga emosional dan budaya. Cendekia studi Islam, Mona Hassan, dengan lengkap mencatat pengalaman ini setelah Baghdad ditaklukkan para Mongol pada 1258 (656 H), dan kemudian sekitar tujuh abad sesudahnya, pada 1924.71
Banyak cendekiawan, aktivis, dan gerakan transnasional Islam telah menghidupkan gagasan persatuan umat Islam selama satu abad terakhir. Meski sebagian besar kelompok menganggap khilafah sebagai produk sampingan kegiatan revivalis dan reformis mereka, beberapa gerakan justru menjadikannya sebagai tujuan utama mereka. Bagi kelompok yang paling berdedikasi membangkitkan khilafah, seperti Ḥizb al-Taḥrīr (Partai Pembebasan) dari Palestina-Yordania dan Tanzeem-e-Islami (Organisasi Islam) dari Asia Selatan, (keduanya sekarang menginternasional), khilafah bukan hanya hasil kolaborasi antara masyarakat dan negara Islam yang telah direformasi, tetapi akhir politik dari perjuangan serta instrumen mencapai keadaan yang diinginkan serta menangkal ancaman internal dan eksternal terhadap umat Islam.72Selama abad ke-20, para pemimpin politik ambisius dari negara-negara Muslim telah menciptakan hubungan dan lembaga di tingkat internasional guna mewujudkan kolaborasi pan-Islam yang lebih besar. Di era kebijakan pembangunan pasca-Perang Dunia II, politik negara-bangsa sebagian besar mengalahkan upaya serius untuk ini.73Dewasa ini, aspirasi seperti itu muncul kembali.74Aktor nonnegara, seperti yang disebutkan sebelumnya, lebih berhasil menjaga gagasan ini tetap hidup. Peran paling signifikan dipegang oleh organisasi reformis sosial-keagamaan seperti Ikhwanul Muslimin (di negara-negara berbahasa Arab) dan Jamaat-e Islami (di Asia Selatan), yang sebetulnya menempatkan usaha mengembalikan khilafah hanya sebagai sasaran jangka panjang saja, bukan prioritasnya. Hanya di saat krisis, seperti pendudukan Israel atas Palestina, sentimen pan-Islam menemukan ruangnya. Di era negaraisme (1940-an–80-an), gerakan Islam memobilisasi massa untuk menguasai berbagai negara. Mereka sering gagal, dan ketika mereka berhasil, seperti di Iran dan Sudan, mereka sering menemukan bahwa logika sekularisasi internal dari model negara-bangsa jauh lebih kuat daripada aspirasi ideologis mereka sendiri dan sering menyerah pada represi, korupsi, serta pertimbangan regional dan geopolitik. Kenegaraan tidak pernah mengakar secara serius di dalam Dunia Islam, dan meski Islamisme menjadi semakin populer secara sosial, ia tidak pernah memenuhi janjinya. Gagasan khilafah, meski merupakan tujuan pamungkas, tetap saja menjadi tujuan nomor kesekian, terkalahkan oleh perlunya mewujudkan demokrasi dan kemajuan.75
Masa kini: negara gagal
Pemberontakan Arab (1916–1918) memulai satu abad (dan entah sampai berapa lama lagi) era ketidakabsahan dan ketidakstabilan politik di Timur Tengah Arab. Saat ini, kawasan ini semakin bergejolak. Seorang sejarawan kontemporer menghubungkan kejatuhan Khilafah Utsmaniyah dengan kondisi Timur Tengah kontemporer,
Saya pikir semua orang itu rasional ketika [mereka] pesimis akan prospek daerah ini. Tak satu pun masalah yang memiliki solusi jangka pendek.76
Demikian pula, dalam karyanya berjudul A Peace to End All Peace (1989), sejarawan David Fromkin merefleksikan warisan berkelanjutan dari pembagian wilayah Eropa:
Perlawanan lokal yang terus berlanjut, baik atas dasar agama atau lainnya, terhadap penyelesaian tahun 1922 atau asumsi yang mendasarinya, menjelaskan ciri khas politik kawasan ini: bahwa di Timur Tengah tidak ada rasa legitimasi—tidak ada kesepakatan tentang aturan main—dan tidak ada keyakinan universal bahwa dalam perbatasan mana pun, entitas yang menyebut diri sebagai negara atau orang-orang yang mengaku sebagai penguasa berhak diakui seperti itu. Dalam hal ini, para penerus sultan-sultan Utsmani belum diangkat secara permanen.77
Kini, masa depan negara-bangsa Muslim menjadi kurang pasti dibanding satu abad yang lalu. Setidaknya satu alasan bagi ketidakmungkinan—dan, dalam kata-kata seorang cendekia, kemustahilan—negara-bangsa adalah persoalan ideologis: Islam.78Artinya, mengingat kuatnya akar Islam, upaya alternatif membangun legitimasi melalui narasi sekuler—apakah itu nasionalis, regional, kiri-internasionalis, atau lainnya—telah gagal. Seperti dijelaskan cendekia Arab Nazih Ayubi dalam studi berpengaruhnya, Overstating the Arab State (1996), negara-negara Arab pascakolonial abad ke-20 tidaklah kuat, melainkan garang—artinya, mereka lemah, tidak sah, dus garang.79Karena negara-negara itu tidak mengantongi kesetiaan rakyat (hanya mendapatkan kesetian elite yang diuntungkan oleh kehadirannya), mereka hanya dapat berkuasa melalui kekerasan, yang sering dikombinasikan dengan dan disahkan melalui faktor-faktor asing seperti ancaman dan permusuhan regional (misalnya, Israel, Zionis, tentara Salib, Syi’ah, Sunni, dll.) dan eksploitasi perpecahan agama dan etnik. Ketika para elite menyadari kegagalan program sekuler mereka—terutama seiring kegagalan nasionalisme Arab yang dipimpin Nasser dan penghinaan terhadap tentara Arab oleh Israel pada 1967—mereka berharap mengeksploitasi Islam secara lebih efektif. Hasilnya tidak mengesankan karena beberapa alasan.
Pertama, meskipun para penguasa dapat mengendalikan sejumlah ulama dan lembaga keagamaan, Islam Sunni tidak pernah menerima hierarki ulama, dan upaya semacam ini selalu melahirkan atau memperkuat klaim otoritas agama alternatif. Contohnya, upaya Mesir menguasai Universitas al-Azhar. Sebagai agama yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an, penyebaran literasi dalam Islam hanya mendorong pesan antiotoriter, jika bukan antihierarki, kepada minda dan sanubari orang beriman. Semangat Islam yang dahulu pernah menggagalkan ambisi absolut Umayyah (dalam bentuk pemberontakan) dan ambisi para khalifah Abbasiyah (dalam bentuk perlawanan heroik Imam Ahmad bin Hanbal), menolak dimanipulasi otokrat militer dan raja hari ini. Faktor ideologis lain, dan mungkin yang paling penting, yang menghalangi perekrutan Islam dalam proyek pembangunan negara-bangsa adalah globalitas umat Islam dan teritorialitas negara modern pada dasarnya.
Ketidakabsahan negara di wilayah-wilayah mayoritas Muslim berkonsekuensi buruk. Terorisme menjadi konsekuensi langsung dan tak terhindarkan. Negara-negara yang tidak aman, lemah, dan garang ini mau tidak mau memerintah melalui represi serta menyulap otoritas agama dan budaya menjadi tentara bayaran untuk melawan masyarakat mereka sendiri. Mempersenjatai globalisme, para otokrat menyewa “ulama” bayaran global melawan ulama yang memiliki basis sosial. Kelompok tertindas terpaksa berpaling kepada komunitas internasional, yang jarang membantu kecuali jika memiliki kepentingan tersendiri. Di satu sisi, negara makin tidak absah dan, di sisi lain, calon reformis mana pun (yang dapat dicap para otokrat sebagai agen asing) makin tidak dipercayai.
Teologi sekuler negara modern
Masalah-masalah ini bukanlah kebetulan, melainkan merupakan hal yang esensial bagi negara mana pun yang harus bersaing dengan agama populer yang tidak dapat dikendalikannya. Selain itu, Islam secara konseptual unik dalam kemampuannya menantang modernitas, tidak hanya secara teologis, melainkan juga secara politis, melalui gagasannya yang kuat tentang rasa memiliki, solidaritas, supremasi hukum, dan toleransi terhadap pluralitas. Aspek eksepsionalisme Islam ini telah diakui baik oleh para cendekia yang mempelajari tradisi maupun yang menyelidiki pengalaman hidup umat Islam.80
Tidak ada negara-bangsa yang tidak menuntut kesetiaan yang nyaris total serta pengenyampingan kepentingan dan pengaruh luar. Negara-bangsa membuat dan menerapkan hukum serta keputusan hidup dan mati, mewajibkan rakyatnya berperang demi kepentingannya. Dalam demokrasi liberal dengan peradilan yang tidak memihak, tuntutan ini diasumsikan tidak sewenang-wenang dan kekuasaan negara dibatasi, tetapi dalam kenyataannya hal itu jarang terjadi. Demokrasi liberal telah terbukti tidak berdaya di hadapan kapitalisme predator dan tidak sesuai dengan komitmen agama, etika komunitas, dan keberlanjutan ekologis. Lantaran tidak memiliki cita-cita moral kolektif dan transenden, warga dalam negara modern dimanipulasi perusahaan besar multinasional atau demagog etno-nasionalis, atau keduanya. Negara modern secara efektif berfungsi sebagai wasit mutlak atas hukum, etika, dan kehidupan warganya.
Tepatnya, negara-bangsa modern adalah lembaga yang asing bagi Islam dalam segala bentuknya. Keasingan ini telah ramai diketahui oleh para cendekia pengkaji tradisi dan sejarah Islam, dan baru-baru ini dibuktikan oleh Wael Hallaq melalui bukunya yang berjudul The Impossible State. Dia berpendapat bahwa negara-bangsa modern adalah lembaga yang amoral, bahkan tidak bermoral, dan konsep yang tidak cocok bagi Islam. Namun, kasus yang disoroti dalam bukunya itu didasarkan pada gagasan “negara” tertentu, yang menyebabkan banyak kebingungan di kalangan nonspesialis. Oleh karena itu, diperlukanlah pengklarifikasian.
Apakah dan kapan istilah “negara” dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk pemerintahan Islam awal tergantung pada cara menjawab pertanyaan pelik tentang definisi negara. Negara modern telah menaklukkan dunia dan imajinasi kontemporer di mana-mana sehingga mengancam semua pemahaman sejarah sekaligus alternatif yang otentik secara historis. Sejarawan intelektual Eropa umumnya setuju bahwa konsep negara muncul di Eropa antara 1300 dan 1600 sebagai akibat daripada sejumlah perkembangan tertentu.81Yang membedakannya dari bentuk pemerintahan sebelumnya adalah pertemuan sejumlah konsepsi yang mengkonstruksi negara sebagai “kekuasaan yang mahakuasa namun impersonal”: (a) negara sebagai tatanan hukum dan konstitusional terpisah yang memerintah, diabstraksikan dan dibedakan dari raja atau pejabat yang berkuasa, (b) negara sebagai satu-satunya sumber hukum, mengecualikan Tuhan, Gereja, atau Kekaisaran Romawi Suci, di dalam wilayahnya sendiri, dan (c) negara sebagai satu-satunya objek kesetiaan warganya.82Jadi, sekularitas, teritorialitas, abstraksi (yaitu, impersonalitas), dan kedaulatan adalah bahan baku dasar negara modern. Definisi maksimalis tentang negara yang digunakan sejarawan ini harus dikontraskan dengan definisi minimalis yang lebih banyak digunakan, seperti yang ditawarkan oleh Charles Tilly yang melihat negara sebagai “organisasi pemaksa yang berbeda dari rumah tangga dan kelompok kekerabatan, serta menjalankan prioritas yang jelas di atas semua organisasi lain dalam wilayah yang substansial.”83Tatanan Madinah jelas mewakili “negara” seperti itu pada saat Nabi saw. wafat, yang kemudian dikonsolidasikan pada akhir pemerintahan Abu Bakar. Pun begitu, dalam rangka menangkap esensi pramodern dari bentuk otoritas politik Islam, penggunaan istilah “negara” ini terlalu longgar maknanya, sehingga, mengikuti Hallaq, ketimbang menggunakan istilah “negara” lebih baik kita menggunakan istilah “pemerintah” atau, lebih baik lagi, “pemerintahan”.
Tegasnya, negara modern adalah lembaga abstrak dan impersonal yang terpisah dari individu atau dinasti tertentu yang berkuasa. Sebagai hasil pengembangan oleh peradaban Eropa abad ke-17, konsep negara adalah spesies kekuasaan baru yang asing bagi teologi atau yurisprudensi Islam. Filsuf politik dan sejarawan telah lama menggagas bahwa, sebagai sebuah lembaga, negara mengambil alih kekuasaan Tuhan dalam ajaran Kekristenan tradisional. Mengutip Carl Schmitt dalam esainya “Political Theology,” mungkin kata-kata yang paling banyak dikutip dalam teori politik modern:
Semua konsep penting dari teori negara modern adalah konsep teologis sekuler, bukan hanya karena perkembangan historisnya—yang di dalamnya konsep-konsep ini ditransfer dari teologi [Kristen] ke teori tentang negara, di mana, misalnya, Tuhan yang Mahakuasa menjadi pembuat hukum yang mahakuasa—tetapi juga karena struktur sistematis konsep-konsep ini, dan pengakuan yang diperlukan untuk pertimbangan sosiologis dari konsep-konsep ini.84
Hal yang perlu dicatat dalam pengamatan ini adalah asal-usul teologis dan pretensi konsep-konsep politik itu mendefinisikan negara modern: kedaulatan (otoritas seperti Tuhan yang tak tersangkal untuk membuat undang-undang dan pengecualiannya), wilayah (wilayah di mana kedaulatan negara itu mutlak), komunitas nasional (orang-orang yang percaya kepada kebesaran dan mitos masa lalu negara itu), dan kewarganegaraan (hak individu atas dasar hubungannya dengan negara, tidak dimiliki nonwarga negara),85dan seterusnya. Tetapi, saya pikir, wawasan lebih dalam adalah struktur negara itu secara ideologis sekuler; bukan ruang kosong untuk diisi ideologi apa pun. Inilah yang disinggung Wael Hallaq dalam kutipan berikut:
Wacana Islamis modern menganggap negara modern sebagai alat pemerintahan yang netral, yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi tertentu sesuai pilihan dan perintah para pemimpinnya. [Ia bisa diubah menjadi] … sebuah negara Islam yang menerapkan nilai-nilai dan cita-cita Al-Qur’an yang pernah diwujudkan Nabi dalam “negara mini”-nya di Madinah. … [Ini tidak benar.] Ia secara inheren (penekanan pada tulisan aslinya) menghasilkan suatu efek khas yang bersifat politis, sosial, ekonomi, budaya, epistemik, dan, tidak kurang, psikologis, yang mengatakan bahwa negara membentuk sistem pengetahuan tertentu yang pada gilirannya menentukan dan membentuk lanskap subjektivitas individu dan kolektif dan dengan demikian banyak aspek kehidupan subjeknya.86
Salah satu alasan kekuatan ideologis negara adalah perannya sebagai pembuat, penilai, dan pelaksana hukum. Kekuatan besar dan total ini beralih ke entitas abstrak yang seolah-olah tidak material, tetapi, pada kenyataannya, selalu digunakan sekelompok orang. Lalu, otoritas negara modern ini ditetapkan (tentu saja, selalu selektif) oleh kekuasaan global atas nama kesepakatan internasional, yaitu sistem negara-bangsa. Ketika kekuasaan ini didapati terlalu absolut, gagasan keseimbangan dan pemisahan kekuasaan secara kelembagaan dalam bentuk konstitusi dan proses demokrasi lahir. Namun, semua proses ini berada di dalam negara. Dalam demokrasi yang tidak sempurna (adakah yang sempurna?), totalitas kekuasaan ini menjadi lebih jelas, dan pemisahan kekuasaan seringkali kurang efektif. Tetapi, seperti dikemukakan banyak sejarawan hukum, hipotesis pemisahan kekuasaan ini tidak berlaku dalam kenyataannya, sekalipun itu di negara-bangsa yang paling berkembang secara kelembagaan seperti Amerika Serikat.87Sebagai kesatuan pihak, seperti pada saat-saat krisis, perang, dan kemenangan asli atau palsu—dengan potensi berkelanjutan atau bahkan konstan—negara bertindak sebagai kekuatan absolut, “tuhan fana,” sebagai Leviathan, makhluk mitos dengan kekuatan tak terbatas sebagaimana dibayangkan filsuf Inggris Thomas Hobbes.
Masalah utama dari perspektif teologi Islam bukanlah para penguasa sebagai individu dapat berkhianat atau berperang, memberlakukan kebijakan diskriminatif, dan eksekusi sewenang-wenang, hal-hal yang dapat dipahami sebagai realitas tak terhindarkan dalam kehidupan politik. Otoritas agama selalu merasa bebas menggunakan norma-norma Islam untuk mengkritik dan mengecam para penguasa, bahkan terkadang membenarkan pemberontakan bersenjata. Lebih tepatnya, “kemustahilan” negara modern dalam kerangka Islam, seperti pendapat Hallaq dan cendekia lain, adalah bahwa negara—secara definisi maupun struktural—merupakan yang tertinggi. Pendapat dan lembaga agama disahkan negara, bukan sebaliknya. Bahkan jika elite negara modern itu “Muslim” atau “Islami,” menurut mereka, secara struktural negara itu tidak bisa menjadi negara Islam; melainkan ia adalah negara sekuler dan mensekularisasi. Namun, status sekuler tidak pernah menghentikan elite negara mana pun, termasuk di Eropa dan Amerika, dari mengeksploitasi agama demi tujuan mereka. Oleh karena itu, gagasan negara Islam adalah oksimoron, dan pengalaman negara-negara aktual yang mengaku Islami selama beberapa dekade terakhir sudah mengamini hal ini.
Ketidaksesuaian lain, yang bahkan lebih konkrit, dengan tuntutan kedaulatan teritorial negara modern adalah bahwa Islam tidak membolehkan pembedaan hak dan kewajiban umat Islam berdasarkan afiliasi regional atau teritorial. Banyaknya perintah Al-Qur’an tentang solidaritas dan saling mendukung antar sesama Muslim tidak memungkinkan pemisahan umat Islam di satu wilayah dari kebutuhan, hak, kekayaan, dan penderitaan umat Islam lain, kecuali atas dasar sementara dan pragmatis. Oleh karenanya, melawan penindasan terhadap Muslim Rohingya, Uyghur, maupun Muslim di Palestina dan Kashmir, merupakan perintah Al-Qur’an langsung kepada semua Muslim, yang pelaksanaannya hanya tunduk kepada pertimbangan jarak dan kelayakan. Struktur politik yang membatasi kesetiaan individu pada batas-batas teritorial negara adalah hal yang secara fundamental bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, yang lebih bermasalah bagi tuntutan negara teritorial adalah kesetiaan warganya kepada otoritas agama yang berasal dari luar perbatasannya. Jaringan cendekiawan, intelektual, dan sufi yang tersebar luas dan telah memberi corak kepada wilayah Islam di masa lalu terus menjadi tantangan bagi tuntutan negara-bangsa. Tentu saja, independensi kota atau sebuah wilayah yang terbatas dalam bentuk pemerintah teritorial atau regional memang mungkin (dan diinginkan), tetapi kedaulatan yang dituntut negara-bangsa jauh melampaui ini. Jadi, penting untuk membedakan negara (suatu entitas yang abstrak dan berdaulat) dari pemerintah (suatu istilah bagi aparatur administrasi dan hukum di suatu daerah). Oleh karena itu, imajinasi tentang khilafah masa depan tidak boleh dibatasi oleh pemikiran bahwa pemerintah, lembaga, komunitas, dan sejarah lokal harus dihancurkan untuk menciptakan negara supraregional.
Banyak kritik lain terhadap negara-bangsa, yang memang telah diutarakan. Tetapi tujuan kita bukanlah mengkritik secara komprehensif, melainkan menyajikan sejumlah alasan mengapa rekam-jejak negara-bangsa sangat bermasalah di wilayah Islam, dan mengapa akhir dari negara-bangsa dapat menawarkan peluang sejarah bagi pemulihan bentuk eksistensi politik yang lebih Islami dan manusiawi bagi umat Islam.
Melihat ke depan
Gagasan-gagasan para ekonom dan filsuf politik, baik ketika benar maupun salah, lebih berpengaruh daripada yang dipahami secara umum: Bahkan, gagasan-gagasan inilah sebenarnya yang menjalankan dunia.88
Kritik terhadap negara modern yang saya paparkan di atas mengharuskan khilafah masa depan tidak dibayangkan sebagai negara-bangsa super, atau sekadar penggabungan negara-negara yang ada, melainkan sebagai jenis pemerintahan berbeda yang mengambil legitimasinya dari filsafat politik yang berbeda pula dari yang didasarkan pada perjanjian Westphalia, nasionalisme, dan sekularisme. Tidak perlu berpaling dari pengalaman modern ke model pramodern, namun mencari hikmah dan bimbingan dari masa lalu sambil menatap ke masa depan, memperluas ruang lingkup pemikiran, dan melibatkan pengalaman kontemporer di luar kategori hegemonik. Begitu kita melepaskan diri dari gagasan bahwa negara-bangsa adalah niscaya, banyak inspirasi dari masa lalu dan masa kini terbuka.
Gagasan inovatif bagi pemulihan khilafah sudah banyak terpikirkan; itu adalah cara banyak pemikir Muslim independen membayangkan masa depan. Ahli hukum Mesir yang berpengaruh Abd al-Razzāq al-Sanhūrī (1895–1971)—yang sekaligus merupakan satu-satunya yang paling penting dalam bidang hukum sipil Mesir, Irak, dan Arab lain—memiliki komitmen yang jelas terhadap kebangkitan khilafah secara sistematis dan progresif:
Mengingat pendirian khilafah yang lengkap atau berpedoman dengan benar adalah hal yang mustahil dalam kondisi saat ini, tidak ada alternatif selain mendirikan pemerintahan Islam (ḥukūma) yang tidak atau kurang lengkap atas dasar kebutuhan dunia Islam saat ini. Tetapi sistem (niẓām) seperti itu harus dianggap kurang dan bersifat sementara… Sistem khilafah yang ideal di masa depan haruslah fleksibel, karena, seperti yang telah kita lihat, syariat sama sekali tidak memaksakan bentuk [administratif] khusus untuk pemerintahan.89
Kemudian dia memberikan persyaratan umum bagi khilafah yang layak dan efektif:
- Penyatuan Dunia Islam;
- penerapan hukum Islam, dan
- fitur agama dan politik tertentu, yang diuraikannya lebih lanjut sebagai berikut:
- Pemisahan kekuasaan: [karena] sebagaimana ditunjukkan sejarah dan pengalaman, pemusatan kekuasaan di tangan satu orang atau lembaga mengarah pada dominasi politik terhadap agama dan moral.
- Reformasi hukum: [karena] sistem hukum Islam tradisional (di luar aspek ritual dan agama) telah menyebabkan stagnasi, sehingga diperlukanlah penelitian serius dan semacam kebangkitan intelektual sebelum menerapkan sistem hukum ini dalam praktik.
- Desentralisasi dan lokalisme: [karena] sejarah dan pengalaman menunjukkan kesatuan dunia Islam tidak dapat dipertahankan secara stabil dalam negara yang sangat tersentralisasi, yang juga tidak diinginkan dari perspektif yurisprudensi Islam; upaya semacam ini harus didesentralisasikan dengan kebebasan besar yang diberikan kepada setiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri.90
Sanhūrī bukan sekadar pemimpi; karya-karyanya berikutnya memerinci secara panjang lebar berbagai masalah yang harus dihadapi dalam pemerintahan dengan banyak lapisan seperti itu, hingga jenis-jenis komite untuk berbagai urusan agama dan lainnya, serta kepekaan terhadap hak-hak non-Muslim serta negara tetangga non-Muslim—“bangsa-bangsa di timur”—yang akan diperlukan.
Dalam alur pikir ini, arsitektur konstitusional Amerika Serikat mewakili salah satu kasus visi politik terbaik dalam dunia modern, yang tidak bisa diabaikan pemikiran politik kontemporer. Ketika diwawancarai mengenai bukunya The Conservative Sensibility, pakar sayap kanan George Will baru-baru ini mengatakan bahwa upaya pemerintahan Bush membawa demokrasi ke Irak berakhir gagal karena Irak tidak memiliki orang-orang seperti filsuf John Locke, negarawan George Washington, ekonom visioner Alexander Hamilton, dan masyarakat Amerika abad ke-18. Argumen lebih besarnya adalah sejumlah genius politik menciptakan sistem politik Amerika, yang kemudian menciptakan budaya dan subjektivitas yang diperlukan demokrasi yang sukses. Artinya, ketiga elemen ini dibutuhkan untuk visi politik yang sukses: seperangkat cita-cita bersama, sejumlah pemikir visioner yang istimewa dan berani, dan masyarakat yang menyahut visi mereka. George Will bukanlah ahli tentang Irak, dan pandangannya tentang Amerika secara sempit mengabaikan konflik dan kemungkinan dari sejarah, tetapi wawasannya ada yang benar: dibutuhkannya orang visioner dan dukungan masyarakat serta, khususnya, kegagalan solusi impor. Yang lebih penting lagi adalah pengamatannya tentang Deklarasi Kemerdekaan Amerika: yang dilihatnya bukan menciptakan hak yang dipaksakan dari atas ke bawah, tetapi mengamankan hak yang sudah ada sebelumnya yang secara luas diyakini berasal dari Tuhan.91
Saya membayangkan khilafah sebagai federasi pemerintah lokal yang dapat diatur secara demokratis atau dengan sejumlah pelembagaan syura tradisional atau inovatif—yang mencakup perwakilan, konsultasi, dan akuntabilitas. Hukum Islam secara inheren pluralistik dan tidak berusaha memaksakan norma-norma komunalnya kepada para non-Muslim. Sebabnya adalah gagasan Islam tentang kehidupan dan pemerintahan komunal pada dasarnya adalah dari bawah ke atas: orang hanya dapat diatur oleh hukum yang mereka yakini. Komitmen lain terkait pemerintahan Islam adalah integritas keluarga dan masyarakat. Komitmen ketiga terkait tradisi Islam secara historis adalah pemerintah kecil dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat. Ketika negara-bangsa meninggalkan standar-standar ini dan mencoba memaksakan hukum Islam menjadi hukum negara maka penyalahgunaan pun terjadi.92
Semua komitmen ini menjadi blok bangunan bagi desain konstitusional yang ke depannya perlu menyeimbangkan kekuasaan pemerintah. Singkatnya, desain kelembagaan konfederasi masa depan pemerintah Muslim harus menggunakan khazanah tradisi Islam, tetapi yang juga sama pentingnya adalah mengadopsi kembaga kontemporer yang kompatibel.
Ini bukanlah seruan untuk revolusi dengan kekerasan, yang pasti akan diikuti teror setelahnya. Lebih tepatnya, ini adalah seruan untuk diskursus dan praktik baru dalam kerangka kerja khilafah luas yang menganggap serius masa depan kolektif umat Islam sedunia. Ini adalah seruan bagi umat Islam agar bermimpi besar, tanpa mengabaikan kewajiban kecil dan berjangka pendek, untuk berpikir secara global sekalipun ketika harus bertindak lokal. Ini adalah seruan untuk percakapan, jaringan, pemikiran ulang, dan pembayangan ulang kemungkinan hidup politik sebagai Muslim. Ini adalah seruan agar kaum muda Muslim terhubung satu sama lain melintasi batas-batas palsu serta berintrospeksi tentang hal-hal moral yang praktis: bagaimana kita dapat secara lebih baik menanggapi kehilangan iman dan takwa, sikap apatis dan korupsi para elite, membela pengungsi, membantu Muslim teraniaya, memfasilitasi kolaborasi ekonomi, mengubah lembaga politik, meningkatkan diskursus keagamaan, memperkaya dialog dan diskursus antara sesama umat Islam melintasi batas sektarian dan nasional, serta meningkatkan pendidikan dan komunikasi lintas jarak, bahasa, dan prasangka?
Semua pertanyaan ini harus dijawab dengan cara yang sekaligus dapat mengalahkan para otokrat dan juga teroris, bukan hanya dalam ideologi masing-masing tetapi juga dalam taktik dan pandangan dunia mereka.
Ketika aktivitas NIIS berada di puncaknya dan media Barat berlomba-lomba menerbitkan cerita paling sensasional tentang pemenggalan kepala dan aksi bunuh diri, sebagai peneliti tentang hal itu saya ingin melampaui berita utama dan memahami apa NIIS sebenarnya dengan menggunakan pikiran saya sendiri. Karena saya skeptis dengan pornografi kekerasan yang diproduksi NIIS khusus untuk media Barat, saya pun mencari publikasi NIIS (seperti majalah mereka yang luks, Dabiq) guna memahami budaya di balik kekerasan mereka yang meluas dan kebiasaan mereka mengkafirkan pihak lain. Pemahaman saya yang paling baik berasal dari laporan tersembunyi dan diabaikan tentang perilaku anggota dan pendukungnya tentang interaksi mereka. Banyak petunjuk memberikan gambaran bahwa para rekrutan dari Barat, Eropa, dan kulit putih diperlakukan superior, mereka diberi posisi terdepan untuk mengontrol pesan dan bahkan arah, sedangkan para rekrutan dari negara-negara miskin dengan warga kulit lebih gelap secara rutin dipermalukan dan dipinggirkan. Anak-anak diajari kekerasan dan kebencian sejak dini, bukannya pengetahuan, penalaran, dan kasih sayang. Ada perumusan norma hukum dari manual klasik, tetapi tidak memperhatikan sejarah, konteks, dan keragaman; pesan apokaliptik mereka adalah antitesis kebajikan yang begitu esensial bagi tradisi Islam. Saya tahu bahwa hal-hal ini tidak dapat dibuat-buat para propagandis CIA, dan hal-hal ini mengungkapkan inti NIIS. Di bidang yang penuh teori propaganda dan konspirasi yang sangat besar, data terperinci seperti ini membantu saya memahami para preman dan psikopat yang marah ini, kaum mariqa dan khawarij seperti yang dinubuatkan dan dikutuk Nabi saw., sebagai “anak-anak muda bodoh yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka.”93
Mengupayakan tatanan politik yang adil tidak dapat menggantikan nilai penting doa, penghormatan kepada orang tua, pernikahan lebih baik, persahabatan lebih dalam, komunitas lokal yang kuat, dan, yang paling penting, kepedulian kepada keadilan bagi pihak yang lemah.
Mempertahankan status quo di Dunia Islam adalah angan-angan; sedangkan keinginan mengubahnya tidak. Tatanan sekarang tidak Islami, tidak etis, dan bertentangan dengan masa depan yang layak bagi umat Islam dan umat manusia pada umumnya. Hanya sedikit elite yang menginginkan status quo. Demi mempertahankan negara despotik, para elite ini bukan hanya harus menindas mayoritas dan membunuh atau membungkam pemikiran moral yang independen, tetapi juga mengubah dan mendistorsi Islam serta mencuci otak umat Islam secara besar-besaran. Negara-negara yang juga hampir gagal ini tidak jauh berbeda dari NIIS. Mereka secara aktif menghilangkan dan mengganti rasa solidaritas umat Islam, serta mempersempit wacana teologis, yurisprudensi, dan etika demi melayani kepentingan mereka secara eksklusif.
Umat Islam, menurut saya, harus menata kembali khilafah sebagai konfederasi pemerintahan di wilayah inti Islam yang melindungi hak asasi manusia, menstabilkan politik dan ekonomi, serta memungkinkan umat Islam mengembangkan beragam pengaturan politik lokal sambil merangkul kesatuan agama dan budaya yang lebih besar. Tatanan seperti itu bukan hanya akan sesuai dengan perintah Ilahi, melainkan juga merupakan satu-satunya alternatif jangka panjang ketimbang menyokong segelintir kelompok zalim dan teroris yang sebenarnya saling memperkuat satu sama lain.
Notes
- Diyar Guldogan, “Turkish Republic kelanjutan dari Ottoman Empire,” Anadolu Agency, 10 Okt 18, http://aa.com.tr/en/todays-headlines/turkish-republic-continuation-of-ottoman-empire/1059924 (Diakses 19 Des 2018). Lihat juga, Rashid Dar, “The Other C-word: Khilafah,” http://ciceromagazine.com/features/the-other-c-word-caliphate/
- Azadeh Moaveni, “The Lingering Dream of an Islamic State,” New York Times, 12 Jan 2018.
- Ibid.
- Pengamatan ini dari cendekia konstitusi Yahudi-Amerika di Universitas Harvard, Noah Feldman, dalam bukunya The Fall and Rise of the Islamic State (Princeton: Princeton University Press, 2008), 1.
- John Keane, The Life and Death of Democracy (New York: W. W. Norton & Company, 2009): “Demokrasi baru itu anak haram. Penciptaannya tidak disengaja. Kelangsungannya tidak pernah dijamin. Ia tidak niscaya” (161).
- Sheldon S. Wolin dan Nicholas Xenos (ed.), Fugitive Democracy and Other Essays (Princeton: Princeton University Press, 2016).
- Pernyataan serupa ini muncul lima kali dalam Al Qur’an, lihat, misalnya, 2:216.
- Ini contoh kecil dari laporan semacam itu, terlepas dari penglebih-lebihan jurnalis barat: “Despots are pushing the Arab world to become more secular,” The Economist, 2 Nov 2017, https://www.economist.com/middle-east-and-africa/2017/11/02/despots-are-pushing-the-arab-world-to-become-more-secular; “The Arab world in seven charts: Are Arabs turning their backs on religion?” 24 Jun 2019, https://www.bbc.com/news/world-middle-east-48703377.
- Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. (New York: Touchstone, 1993/1996).
- Benjamin R. Barber, Jihad Vs. McWorld (New York: Ballantine Books, 1996).
- John Gray, John, Endgames: Questions in Late Modern Political Thought (Cambridge: Polity Press, 1997).
- Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy (Princeton: Princeton University Press, 1999).
- Misalnya, Kenichi Ohmae, The End of the Nation-State: The Rise of Regional Economies (New York: Free Press, 1995); Luigi Padula, End of the Nation-State: A Historical Perspective (2015).
- Peter Dockrill, Business Insider, 6/26, https://www.businessinsider.com/climate-apartheid-united-nations-report-2019-6 (Diakses 7/4/19).
- Argumen ini dikemukakan Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2012); di sini Hallaq berargumen bahwa negara modern bukanlah pengaturan netral yang dapat diubah sesuka hati, seperti yang awalnya dipikirkan para reformis Islam, tetapi ia pada dasarnya amoral dan tidak sesuai dengan bentuk Islam apa pun secara historis. Andrew F. March, dalam karyanya yang lebih baru, The Caliphate of Man: Popular Sovereignty in Modern Islamic Thought (New York: Harvard University Press, 2019), mengisahkan kegagalan upaya mengislamkan negara pada abad ke-20, dan menunjukkan alasan yang mengkonfirmasi tesis Hallaq: “Sedikit jarak klaim ideologis pra-revolusioner bahwa ‘negara harus dijalankan dengan syariat’ dari ‘apa pun yang diperlukan negara untuk pertahanan, pelestarian, dan kesejahteraannya adalah syariat’“ (225).
- Salman Sayyid, Recalling the Caliphate (London: Hurst & Co. 2014), 190–911.
- Richard A. Shweder, “Geertz’s Challenge: Is It Possible to Be a Robust Cultural Pluralist and a Dedicated Political Liberal at the Same Time?,” dalam Austin Sarat, Lawrence Douglas, dan Martha Merrill Umphrey (ed.), Law without Nations (New York: Stanford Law Books, 2010), 226.
- Columbia University Press, 2018.
- Arjun Appaduri, “Across the World, Genocidal States Are Attacking Muslims. Is Islam Really Their Target?,” Scroll.in, 22 Mei 2018, https://scroll.in/article/879591/from-israel-to-myanmar-genocidal-projects-are-less-about-religion-and-more-about-predatory-states (Diakses 29 Mei 2018).
- Harus diakui, “Perang Melawan Teror” juga telah berhasil membuat orang-orang Muslim rela menjadi subjek. Jadi, Sayyid, Recalling the Khilafah, 189-90: “Muslim telah menjadi target paling terlihat dari Perang Melawan Teror; mereka direkrut ke dalam kesadaran politik baru melalui perang yang tidak pernah berakhir. Mereka saling bertukar cerita komedi (‘terbang ketika menjadi Muslim’), mengerikan (kesadisan memaksa makan para pemogok makan di Guantanamo) dan heroik (kehidupan sehari-hari di bawah pendudukan di Palestina, Kashmir, Chechnya, dan Burma). Percakapan umat Islam sekarang diwarnai Perang Melawan Teror seiring Kemalis dan Islamis menyesuaikan diri dengan kebanalan pelaksanaannya.” Terima kasih banyak kepada Mohammed El-Sayed Bushra untuk kutipan ini.
- Times of Israel, 9 Juli 2019, https://www.timesofisrael.com/liberman-future-peace-deal-with-palestinians-must-include-arab-israelis/
- Hadis ini diriwayatkan melalui dua sahabat, Thawbān (Abu Dawūd #4297) dan Abū Hurairah, (Musnad Aḥmad), dan dianggap sahih.
- Foreign Affairs, Summer 1993, 72.3.
- Azad Essa, “Muslims being ‘erased’ from Central African Republic,” Aljazeera, 31 Jul 2015, https://www.aljazeera.com/news/2015/07/amnesty-muslims-erased-central-african-republic-150731083248166.html (Diakses 19 Des 2018).
- Yale University Press, 2017.
- David Wasserstein, “How Islam Saved the Jews,” https://kavvanah.wordpress.com/2012/06/04/how-islam-saved-the-jews-david-wasserstein/ (Diakses 7/4/19) .)
- Muslim #1342.
- Dalam literatur Orientalis, kebingungan menyebar sejak karya Patricia Crone dan Martin Hinds, God’s Caliph (1986). Untuk literatur Muslim kontemporer, banyak karya terus dihasilkan yang menggambarkan manusia sebagai wakil Tuhan. Kasus paling awal mungkin adalah tafsir bahasa Urdu Al-Qur’an karya Abu al-Aʿla al-Mawdudi yang populer, Tafhim al-Qur’an.
- Untuk mempelajari fenomena ini, lihat Andrew F. March, The Caliphate of Man: Popular Sovereignty in Modern Islamic Thought (New York: Harvard University Press, 2019).
- Lihat bagan dalam David Graeber, Debt: The First 5000 Years (2014), 272.
- Noah Feldman, Fall and Rise of the Islamic State (2008), xxxix.
- Hüseyin Yılmaz, Caliphate Redefined: The Mystical Turn in the Ottoman Political Thought (Princeton: Princeton University Press, 2018).
- Untuk informasi lebih lanjut tentang sistem millet, lihat Teseneem Alkiek, “Tolerance, Minorities, and Ideological Perspectives,” https://yaqeeninstitute.org/tesneem-alkiek/tolerance-minorities-and-ideological-perspectives/
- Wadad Kadi dan Aram Shahin, “caliph, caliphate,” dalam Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought, 85.
-
Meskipun keyakinan (sebagai akibat perselisihan tentang penunjukan) imam yang tepat adalah hal yang menentukan bagi Syi’ah, rukun iman bagi Syi’ah Imami baru terbakukan pada abad ke-11 (ke-5 H); lihat Mohammed Ali Amir-Moezzi, “Early Shīʿī Theology,” dalam The Oxford Handbook of Islamic Theology, 82-3.
- Patricia Crone, “Ibadis,” dalam G. Bowering (ed.), Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought (Princeton: Princeton University Press, 2013), 230.
- Untuk mempelajari pemikiran politik al-Juwayni, lihat artikel saya ”Political Metaphors and Concepts in the Writings of an Eleventh-Century Sunni Scholar, Abū al-Maʿālī al-Juwaynī,” Journal of the Royal Asiatic Society, 26.1-2 (2016): 7-18. Untuk ikhtisar seluruh periode klasik dan ide-ide politik inovatif Ibnu Taimiyah, lihat monografi saya Politics, Law, and Community in Islamic Thought: The Taymiyyan Moment (Cambridge: Cambridge University Press, 2012).
- Setelah teks yang jelas dalam Al-Qur’an atau hadis yang diriwayatkan berkali-kali (mutawātir). Al-Juwaynī, Ghiyāth, 39-43.
- Yilmaz, Caliphate Redefined.
- Ibnu Ḥazm, al-Fiṣal fī al-milal wa-l-ahwā’ wa-l-niḥal, 4:87.
- Kaum Muʿtazilah dan Khawarij umumnya menjunjung tinggi kewajiban ini; hanya segelintir Mutazilah, seperti Hisyam al-Fuwātī, yang berpendapat tidak ada khilafah dalam perang saudara, sehingga menyangkal khilafah Ali. Para Najadāt adalah Khawarij fanatik berumur pendek yang mengucilkan semua Muslim lain, dan pada kenyataannya selalu memiliki seorang imam, walaupun menolak kewajibannya.
- Diksi dalam Ṣaḥīḥ Muslim adalah “Barangsiapa meninggal tanpa berbaiat, maka dia meninggal dalam kebodohan pra-Islam” (Muslim #4793).
- Al-Taftāzānī, Sharḥ al-ʿAqāʾid al-Nasafiyya (Karachi: Maktabat al-Bushrā, 1430/2009), 353–54.
- Ibid.
- Ibid., 355.
- “Inna naṣb al-imām wājib qad ʿurifa wujūbuh fī al-sharʿ bi-ijmāʿ al-ṣaḥāba wa-l-tābiʿīn,” Ibnu Khaldun, al-Muqaddima, ed. Muḥammad al-Iskandarānī (Beirut: Dār al-Kitāb al-ʿArabī, 2006), 186 (Bk I, bag. 3, bab 26); bandingkan terjemahan F. Rosenthal, diringkas N. J. Dawood dalam Ibnu Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History (Princeton: Princeton University Press, 1967), 156.
- H. A. R. Gibb, Studies on Islamic Civilization (Princeton Legacy Library, 1982 [asilnya terbit pada 1962]), 173.
- Untuk ringkasan pandangan ini, lihat Ṣādiq Nuʿmān,al-Khilāfa al-Islāmiyya (Kairo: Dār al-Salām, 2004), 26–27; ʿAbdallāh al-Dumayjī, al-Imāma al-ʿuẓmā ʿinda ahl al-sunnah wa-l-jamāʿa (Riyadh: Dār Ṭayba, 1987), 45dst.
- ʿAlāʾ al-Dīn al-Ḥaṣkafī (d. 1088/1677), al-Durr al-Mukhtār, 75.
- Gagasan bermanfaat tentang ‘ruang masalah’ diusulkan antropolog David Scott dalam bukunya Conscripts of Modernity (North Carolina: Duke University Press, 2004).
- Lihat bagian di bawah yang berjudul “Apakah Nabi saw. Mendirikan Negara?”
- Al-Dhahabī, Siyar, 3:372.
- Al-Bayhaqī, Shuʿab al-īmān, 5:75114 vols., ed. Mukhtār al-Nadwī (Riyadh: Maktaba al-Rushd, 2003), 10:15; Ibnu Taimiyah, Minhāj al-sunna, 1:146.
- Ibnu Taimiyah, al-Siyāsa al-sharʿiyya, 161–62.
- Al-Māwardī, Aḥkām, 27.
- Untuk rincian model klasik khilafah dan teori politiknya, lihat karya saya Politics, Law, and Community in Islamic Thought: The Taymiyyan Moment (New York: Cambridge University Press, 2012).
- Untuk diskusi tentang sifat masyarakat Islam awal yang “sangat egaliter” yang diinspirasi Al-Qur’an, “ditekankan … oleh hubungannya dengan … kesukuan Arab,” lihat L. Marlow, Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought (New York: Cambridge University Press, 2002), 1-6; khususnya 4.
- Bukhari #4359.
- Al-Kattān, 99. Pandangan sama dianut Ibnu Taimiyah, Majmūʿ Fatāwā, 35:3
- Ulama, termasuk al-Dhahabī, al-Bayhaqī, dan Ibnu Kathīr, semuanya menyepakati kelemahan hadis ini. Lihat, misalnya, al-Dhahabī, Siyar 3:131.
- Ibnu Taimiyah, Majmūʿ Fatāwā, 35:22.
- Michaelangelo Guida, “Seyyid Bey and the Abolition of the Khilafah,” Middle Eastern Studies 44.2 (2008), 275–89.
- Mengomentari kecepatan Atatürk membunuh para ulama dan mengubah seluruh budaya, Hitler menulis dengan kagum pada tahun 1938 bahwa Ataturk “adalah yang pertama menunjukkan kemungkinan memobilisasi dan menghidupkan kembali sumber daya negara yang hilang.” “Atatürk adalah guru,” kata Hitler. “Mussolini murid pertama dan saya kedua.” Halil Karaveli, “Hitler’s Infatuation with Atatürk Revisited,” https://www.turkeyanalyst.org/publications/turkey-analyst-articles/item/367-hitler%E2%80%99s-infatuation-with-atat%C3%BCrk-revisited.html (Diakses 4/7/19). Lihat juga Pankaj Mishra, Age of Anger: A History of the Present (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2017), 131.
- James Broucek, “The Controversy of Shaykh ‘Ali ‘Abd Al-Raziq,” Disertasi Ph.D. (University of Florida, 2012), 128.
- Mereka yang menulis sanggahan adalah para ulama terkemuka abad ke-20: Aḥmad Shākir, Muḥammad Bakhīt al-Muṭīʿī, Muḥammad Khiḍr Ḥusayn, Rashīd Riḍā, Ṭāhir ibn ʿĀshūr. Lihat karya Muḥammad Imāra, Maʿrikat al-Islām wa-uṣūl al-ḥukm (Kairo: Dār al-Shurūq, 1989) untuk analisis kontroversi ini dalam bahasa Arab dan presentasi terperinci dari argumen-argumen dan sanggahan-sanggahan asli.
- Dikutip dalam Souad T. Ali, A Religion Not a State (Utah: The University of Utah Press, 2009), 73. Lihat juga James Broucek, “The Controversy,” 183; dan Muhammad Imāra, Maʿrikat al-Islām.
- Untuk evolusi sejarah pendapat-pendapat tafsir ayat ini, lihat buku saya Politics, Law, 52n59.
- Tabar, Tārīkh (Dār al-Turāth), 3:186-7.
- Kemungkinan besar, Abd al-Rāziq belum membaca Ghiyāth al-umam karya Juwayn (yang belum tersedia dalam bentuk terbitan), Minhāj karya Ibnu Taimiyah; dan sebagian besar karya klasik lain tentang hal ini yang tersedia bagi kita, dengan pengecualian al-Māwardī dan Ibnu Khaldun, yang dikutipnya. Dalam komunikasi pribadi, Prof. Ahmed El Shamsy dari Universitas Chicago memberi tahu saya bahwa sementara Minhāj karya Ibnu Taimiyah telah diterbitkan oleh penerbit Būlāq pada tahun 1903-5, Ghiyāth al-Juwaynī belum tersedia dalam bentuk terbitan pada waktu itu.
- Abd al-Rāziq, al-Islām wa-Uuṣūl al-Ḥukm, dikutip dalam Broucek, “The Controversy,” 183; juga Imāra, Maʿraikat al-Islam, 395 dst.
- Mona Hassan, Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History (Princeton: Princeton University Press, 2017).
- Reza Pankhurst, The Inevitable Caliphate? A History of the Struggle for Global Islamic Union, 1924 to the Present (London: C. Hurst & Co. Publishers Ltd., 2013).
- Jacob Landau, Pan-Islamism: Ideology and Organization (Oxford: Clarendon Press, 1994).
- Lihat, misalnya, Sayyid, Recalling the Caliphate, 189.
- Lihat, khususnya, Sayyid, Recalling the Caliphate, bab. 5.
- Justine Marrozi, ”Forget Lawrence of Arabia, here’s the real history of the Middle East and World War I,” The National, 26 Feb 2015, https://www.thenational.ae/arts-culture/the-long-read-forget-lawrence-of-arabia-here-i
- Fromkin, A Peace to End All Peace, 564.
- Wael Hallaq, The Impossible State.
- Ayubi, Overstating the Arab State (1996); lihat juga, Sayyid, Recalling, 146, yang menyebut pemerintah Arab kontemporer ‘negara Mukhabarat’.
- Lihat, misalnya, Michael Cook, Ancient Religions, Modern Politics: The Islamic Case in Comparative Perspective (Princeton: Princeton University Press, 2014); Shadi Hamid, Islamic Exceptionalism: How the Struggle Over Islam Is Reshaping the World (New York: St. Martin’s Press, 2016).
- Sebuah referensi yang baik dalam hal ini, yang menunjukkan bagaimana kemenangan akhir model negara-bangsa tidaklah niscaya, adalah Hendrik Spruyt, The Sovereign State and its Competitors (Princeton: Princeton University Press, 2006). Terima kasih kepada Mohammed El-Sayed Bushra untuk referensi ini.
- Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), ix–x.
- Tilly, Coercion, Capital, and European States, AD 990-1990 (Oxford: Basil Blackwell, 1990), 1–2.
- Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, trans. George Schwab (Massachusetts: MIT Press, 1985), 36.
- Tambahan pula, negara modern adalah negara nasional, yang membatasi kesetiaan—“pengakuannya dan penolakannya”—dengan batas-batas nasional.
- Hallaq, The Impossible State, 155-6.
- Ibid. Mengutip dan mengembangkan penelitian-penelitian ini, Hallaq berpendapat bahwa doktrin pemisahan kekuasaan tidak efektif di negara modern secara umum, dan ketidakefektifan ini telah didokumentasikan secara menyeluruh di negara demokrasi yang paling maju secara kelembagaan, Amerika Serikat (lihat bab 3).
- John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money (California: Harvest/Harcourt Inc., 1964; orig. 1935), ch. 24, 383.
- Abd al-Razzāq al-Sanhūr, dikutip dalam Muḥammad Imāra (ed.), Islāmiyāt al-Sanhūrī Bāshā, vol. 1, 335–37.
- Ibid.
- George Will, The Conservative Sensibility (2019), 157.
- Untuk jenis percakapan dalam teori politik yang diperlukan refleksi ini, lihat Chandran Kukathas, The Liberal Archipelago: A Theory of Diversity and Freedom (Oxford: Oxford University Press, 2003).
- Hadis ini diriwayatkan berkali-kali (mutāwatir), berdasarkan otoritas banyak sahabat termasuk ʿAlī b. Abī Ṭālib sebagaimana tercatat dalam, misalnya, al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ, Bukhari 6930 dan Muslim, Ṣaḥīḥ, 1066.