English | Arabic | Urdu | Turkish | Bahasa Indonesian | Bangla

 

Kutipan yang disarankan: Ovamir Anjum, “What is Ummatics?,” Ummatics, March 9, 2023, https://ummatics.org/papers/secular-integration-models-and-global-governance-schemeslessons-for-ummatic-integration

Ucapan Terima Kasih

Saya berutang budi kepada sejumlah cendekia dan teman yang telah bersedia membaca draf awal esai ini dan memberikan saran-saran yang sangat berharga, meskipun saya tetap bertanggung jawab penuh atas semua pendapat dan kesalahan yang masih ada di dalamnya. Nama-nama tersebut antara lain Dr. Usaama Al-Azami, Dr. Safaruk Chowdhury, Dr. Sohail Hanif, Prof. Sherman Jackson, Syekh Amin Kholwadia, Maulana Dr. Haroon Sidat, Mobeen Vaid, dan Syekh Shuayb Wani. Saya juga berterima kasih kepada tim saya di Ummatics Institute, hanya melalui diskusi dengan mereka ide-ide yang diungkapkan di sini dapat berkembang dan mengkristal.

1. Pendahuluan

Muslim di mana pun saat ini menghadapi ancaman eksistensial sekaligus peluang yang menatang. Kesemuanya dapat diringkas sebagai sebuah tantangan, yaitu keharusan untuk mengaktualisasikan diri menjadi sebuah umat: “Sesungguhnya ini umatmu, umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku.” (Q.S. 21:92; 23:52). Musuh terbesar kita bukanlah pihak eksternal, tetapi kurangnya imajinasi dan kemauan di dalam diri: sebuah ketidakberdayaan yang diajarkan (learned helplessness) yang menghalangi kita menjadi khalifah Allah di bumi-Nya. Kita memiliki banyak hal yang harus disumbangkan kepada umat manusia, yaitu ajakan untuk menyelamatkan sesama manusia dari musuh terburuknya— pemujaan dan delusi akan diri sendiri—dengan cara mengarahkannya kepada satu-satunya Tuhan yang sejati. Merupakan sebuah risalah kenabian bagi kita untuk menunjukkan kepada dunia petunjuk dan jalan menuju keselamatan—bahkan ketika kita berdarah dan menderita karenanya—ketimbang menampilkan kemarahan dan dendam di satu sisi, atau keputusasaan dan diam tak bergerak di sisi yang lainnya. Kekuatan kasih saying yang ada di hati Umat Islam hanya dapat didayagunakan jika kita mengikuti panggilan ilahi dan teladan kenabian. Untuk melakukannya, kita harus berkeinginan untuk menjadi Umat Islam yang bersatu sekali lagi.

Esai ini menjelaskan konsep “umatika” (ummatics) dan kemudian diikuti dengan misi Ummatics Institutea. Tulisan ini merupakan esai yang pertama dari serangkaian esai yang menjelaskan visi dan landasan proyek umatika. Esai ini memaparkan keharusan untuk membangun solidaritas keumatan di dalam Islam berikut signifikansinya yang bersifat unik, sehingga bagi para mukmin, hal tersebut merupakan alasan yang cukup untuk menjalankan misi apa pun, betapa pun sulitnya. Esai ini kemudian menguraikan implikasi dari keharusan penyatuan umat di dalam berbagai dimensi, dan menempatkan wacana umatika secara konseptual melalui gagasan Islam tentang kebangkitan (iḥyāʾ) dan pembaharuan (tajdīd) serta memfasilitasi saling nasihat-menasihati (naṣīḥa). Gagasan tersebut merupakan gagasan yang berasal dari dan juga diberikan kepada para ulama, pemimpin, dan seluruh muslim pada umumnya.

Setelah melibatkan akademisi dan pakar di seluruh dunia yang jumlahnya terus meningkat dalam sebuah perbincangan keumatan, program penelitian Ummatics Institute selama beberapa tahun ke depan berupaya untuk mencapai tujuan-tujuan yang saling terkait sebagai berikut: (i) memperluas jangkauan ke berbagai muslim cendekiawan dan pakar di seluruh dunia; (ii) mengembangkan berbagai bidang pengetahuan dan teknik yang relevan dengan memanfaatkan tradisi intelektual, gerakan, dan komunitas akar rumput Muslim yang ada serta kumpulan pengetahuan alam, sosial, dan humaniora kontemporer; (iii) menguraikan dan menyempurnakan solusi intelektual dan program-program yang bersifat konkret dengan menggunakan teknik dan teknologi berwawasan ke depan (forward-looking) dan secara optimal menggunakan sumber daya dan konektivitas global Muslim. Esai-esai selanjutnya akan memaparkan program tersebut dan menjawab keberatan-keberatan yang umumnya diutarakan terhadap kemungkinan bersatunya umat Islam yang efektif.

Mengingat ambisi yang jelas dan ruang lingkup misi yang dibawakan, ada beberapa klarifikasi yang perlu disampaikan. Kami percaya tidak hanya pada pemikiran dan tindakan yang berani, keilmuan yang kokoh, baik tradisional maupun kontemporer, tetapi juga kesinambungan dan kerendahan hati terhadap para ulama besar dan pembaharu Islam di masa lalu dan masa kini. Kami tidak berusaha menggantikan mereka, melainkan meningkatkan berbagai upaya para ulama dan pemimpin Muslim di berbagai bidang keumatan. Aktivitas umat Islam di semua tingkatan—baik para orang tua yang membesarkan anak-anak yang beriman; para ibu menyanyikan lagu pengantar tidur yang mengingatkan terhadap umat;  para Imam yang membenarkan bacaan Quran; penceramah dan pendidik yang membela dan mengenalkan Islam; ilmuwan, wirausahawan, dan pemikir Muslim yang unggul di bidangnya; dan yang paling penting, para ulama yang menjalankan mandat kenabian dan menghidupkan kembali ilmu agama—merupakan unsur-unsur penting dalam kesejahteraan (flourishing) umat yang menyeluruh. Kami berupaya mengisi kekosongan penting dalam wacana Islam kontemporer dan menginspirasi kemunculan sebuah revolusi kewacanaan; sebuah perang yang ditujukan kepada ketidakberdayaan, sikap merendahkan diri sendiri, dan sikap menyerah yang melanda banyak Muslim. Kami tidak kenal kompromi di dalam komitmen kami untuk menegakkan berkembangnya Islam melalui penyatuan umat yang efektif, seperti yang akan dijelaskan di bawah. Selain itu, kami tidak menawarkan resep tunggal atau program utopis yang siap saji, tetapi kami berupaya melibatkan generasi Muslim di seluruh dunia dalam perjuangan mewujudkan peradaban muslim yang bersatu. Terakhir, kami mencari umpan balik dengan semangat Imam asy-Syāfiʿī yang berdoa agar kebenaran diletakkan di lidah lawan bicaranya dan beliau diberi taufik untuk menerimanya.

2. Apa itu “Umatika”

Istilah “umatika” mengacu pada semua hal terkait urusan kolektif umat Islam. Umat sendiri adalah istilah yang telah didefinisikan dan dihormati di dalam Al-Qur’an untuk merujuk pada komunitas pengikut Nabi Terakhir Muhammad ﷺ, komunitas yang dinyatakan sebagai “umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia” (3:110), komunitas yang dimuliakan oleh Allah sebagai “ umat yang paling seimbang” (2:143) yang telah dipanggil untuk “berpegang teguh pada tali Allah” (3:103) dan menyeru umat manusia kepada apa yang baik. Dalam sabda Nabi ﷺ, “Umatika” (dalam bentuk nominalnya) adalah siyasah al-ummah (سياسة الأمة)1. Oleh itu, Umatika adalah istilah yang tepat bagi politik Islam. Ia adalah istilah umum yang memayungi seluruh wacana, keyakinan, dan praktik yang melaluinya Umat Islam dan misi keilahiannya dibayangkan dan diungkapkan, solidaritasnya dirasakan, dan seluruh urusan sosial budaya, politik, etika, dan keagamaannya ditangani dan dikelola.

Umatika bagi Umat adalah seperti politik bagi polis. Mengapa menciptakan istilah baru umatika? Mengapa tidak berbicara tentang politik Islam saja?2 Hal tersebut karena istilah sangat penting baik untuk memahami atau mengaburkan gagasan. Sebagai muslim, penguasaan bahasa adalah langkah pertama untuk mengendalikan nasib kita. Kata ‘politik’ yang diciptakan oleh Aristoteles merujuk pada urusan kolektif kota (polis) dan pengelolaan urusan-urusan tersebut, meskipun pada periode modern, politik dipahami dalam kaitannya dengan negara teritorial modern.3

Oleh itu, istilah politik tidak cukup menggambarkan apa yang dimaksudkan Quran, Sunnah, dan para ulama besar Islam ketika berbicara tentang hal-hal fundamental dalam Islam seperti imamah atau khilafah, tata kelola umat, serta hak dan kewajiban para pemimpin dan yang dipimpin. Wacana-wacana tersebut tidak terhalang batas teritorial, karakteristik kebangsaan, dan aspirasi duniawi suatu bangsa. Namun, wacana tersebut didefinisikan melalui misi, karakteristik moral, dan upaya untuk menyelamatkan Umat ke jalan yang lurus. Untuk memenuhi misi tersebut, Umat Islam harus diperintah seseorang yang berfungsi sebagai wakil (oleh karena itu disebut khalīfah) Nabi sebagaimana sang Nabi mengatur urusan umatnya.

Apa itu khilāfah? Berdasarkan definisi klasik yang disetujui semua cendekiawan yang mendalami hal ini, khilāfah adalah perwakilan Nabi dalam mengelola urusan Umat Islam dengan melindungi urusan agama dan duniawi mereka.4 Secara etimologis, kata umat mengacu pada kolektivitas atau komunitas yang memiliki suatu tujuan atau niat,5 yang dipimpin seorang imam. Perlu dicatat bahwa imām dan amīr al-muʾminīn adalah sinonim untuk kata khalīfah.6

Terlepas dari sekularisasi pemahaman konsep-konsep tersebut di era nasionalisme dan negara-bangsa, konsep kunci seperti umat atau millah/millet dalam wacana Islam tidak mengacu pada negara-negara teritorial, seperti Pakistan, Mesir, Saudi, Nigeria, atau bangsa-bangsa Melayu. Tidak juga konsep tersebut merujuk kepada umat manusia pada umumnya, atau bangsa-bangsa di Timur, atau semua bangsa tertindas atau terjajah di dunia atau di Dunia Selatan. Namun, ia mengacu kepada Umat Islam, komunitas yang terdiri dari semua orang yang mengucapkan Dua Kalimat Syahadat. Merebut kembali bahasa kita sangatlah penting karena banyak negara-bangsa yang mayoritas penduduknya Muslim saat ini adalah negara Orwellian, yang mana negara-negara tersebut diperintah sekelompok kecil elite yang setia hanya pada kepentingan mereka sendiri serta kepentingan pendukung dan penguasa Barat mereka. Para elite ini telah mencoba selama satu abad terakhir untuk melakukan demoralisasi, pencucian otak, dan de-islamisasi pada umat Islam. Terkadang, mereka melakukannya dengan cara membantai sesama kita, para ulama, dan para pemimpin kita. Di lain waktu, mereka melakukannya dengan merusak pengetahuan agama, budaya, dan semangat umat Islam dengan mengimpor ideologi-ideologi asing, menundukkan lembaga-lembaga kita, menodai doktrin-doktrin Islam, dan yang lebih halus lagi, berupaya mengubah bahasa atau aksara dengan menulis ulang makna dari doktrin-doktrin dan konsep-konsep utama Islam.7 Senjata paling hebat musuh kita, yaitu siapa saja yang ingin menghancurkan semangat dan keinginan umat Islam untuk hidup dan berkembang sebagai suatu umat, adalah keberhasilan mencekoki para ulama dan intelektual untuk mengikuti mereka (conscription), atau mematahkan semangat mereka. Akibatnya, ketika negara-negara lain telah berjalan di bulan dan sekarang berupaya menuju bintang, mereka takut untuk berpikir dan bercita-cita mewujudkan hak dan kebebasan mereka paling mendasar, dan kemudian dipaksa untuk menjadi—seperti pepatah Jepang—katak dalam sumur yang mengingkari keberadaan laut. Namun, dengan izin Allah dan akibat perjuangan para ulama, pemimpin, syuhada, dan berbagai gerakan para mukmin yang paling berani untuk melestarikan dan menghidupkan kembali agama, sang musuh mungkin telah memenangkan sejumlah pertempuran, tetapi pasti akan kalah dalam peperangan secara keseluruhan. Perjuangan keumatan yang diberkahi akan terus berlanjut.

Perlu dicatat bahwa di satu sisi, perhatian umatika bukanlah, berbeda dengan politik sekuler, sekedar mengelola dan mendistribusikan sumber daya, tetapi juga menegakkan pesan ilahi (iqāmat al-dīn) dan memakmurkan bumi (ʿimārat al -arḍ), mengelola hubungan intra-Muslim dan mengupayakan keharmonisan, persatuan, dan penyatuan, serta menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang dengan cara yang sesuai perintah ilahi. Menggunakan istilah disiplin ilmu, umatika menggabungkan berbagai aspek akidah (keyakinan Islam), fikih (yurisprudensi), akhlak (etika), dan wacana Islam lainnya yang terkait urusan kolektif umat Islam (shuʿūn al-muslimīn). Wacana tersebut mencakup berbagai genre klasik seperti al-aḥkām al-sulṭāniyyah (hukum ilahi tentang pemerintahan) dan al-siyāsa al-sharʿiyyah (pemerintahan menurut hukum ilahi) dan juga disiplin pengetahuan modern seperti ilmu politik, ilmu sosial, dan humaniora.

Di sisi lain, umatika tidak meniadakan atau menghalangi politik konvensional. Ia hanya mengatur dan mengarahkannya dengan cara yang sama seperti gagasan Islam tentang pernikahan yang tidak meniadakan gagasan adat, lokal, dan budaya mengenai pernikahan. Melainkan, ia memberinya bentuk dan tujuan tertentu. Untuk itu, meskipun solidaritas umat tidak dibatasi wilayah, umatika tidak menyangkal pentingnya keberagaman di antara bangsa, budaya, adat istiadat, praktik, dan tempat. Universalisme umatika tidak harus bersifat menang-kalah jika berhadapan dengan afiliasi-afiliasi yang bersifat lokal dan partikular; Islam merayakan sejumlah bentuk perbedaan, menengahi sebagiannya, dan di sisi lain melarang beberapa bentuk perbedaan.

Ketika prinsip identitas keumatan sudah mapan sebagai landasan, maka membanding-bandingkan dan belajar dari pengalaman luar umat dapat dilakukan dengan niat, kehati-hatian, dan tujuan yang lebih besar. Tentu saja muslim dapat berkontribusi terhadap politik (yakni, tatanan dan pengelolaan yang baik) di dalam komunitas mereka yang di dalamnya mungkin terdapat non-Muslim, baik di wilayah Islam atau di wilayah di mana muslim adalah minoritas. Namun, sebagai bagian dari Umat, rasa memiliki (belonging) seorang Muslim yang paling pertama dan terpenting adalah kepada Umat Islam. Karenanya, sebagai keharusan keimanan, politik mereka diilhami dan juga dibatasi oleh umatika.

3. Landasan Kitab Suci

Sebagaimana yurisprudensi Islam (fikih) merupakan respons historis para mukmin terhadap perintah-perintah ilahi yang bersifat praktis, teologi (usūl al-din atau kalām)  sebagai tanggapan terhadap keharusan menyelaraskan akal dan wahyu dalam rangka mencari pengetahuan tentang Tuhan, dan etika (akhlāk, adab) serta disiplin spiritual (tazkiyah, sulūk, dan tasawuf) sebagai tanggapan terhadap tugas memperoleh kebajikan pribadi dan keadaan spiritual yang lebih tinggi, umatika dapat dipahami sebagai respons historis orang-orang yang beriman terhadap perintah ilahi untuk menjadi teladan berupa suatu komunitas keimanan dengan suatu misi. Hal ini membawa kita pada ayat-ayat kunci dan pokok dalam Quran yang mengatur pembentukan dan arah Umat Islam:

  1. Ayat pertama yang kami kutip adalah ayat yang menyatakan bahwa Umat Muhammad adalah komunitas yang adil juga sekaligus saksi yang harus membawa misi kenabian kepada umat manusia:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَ ى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil8 agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (2:143)9

  1. Ayat berikut melengkapi dan menambah kedalaman makna ayat pertama, ayat yang memuliakan Umat Islam sebagai komunitas terbaik yang menyeru kepada kebaikan. Ayat ini juga menyoroti lagi tentang pasangan antara kemuliaan umat dan misi yang diembannya.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (3:110)10

III. Allah tidak hanya memuliakan kita sebagai Umat Islam dengan tantangan menjadi penerus kenabian, Ia memerintahkan kita untuk melakukannya dengan berpegang teguh pada tali Allah:

وٱعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْ

“Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai.” (3:103)11

  1. Bahkan lebih tegas lagi:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang sangat berat.” (3:105)12

  1. Ayat lain menyatakan para mukmin diikat oleh persaudaraan yang harus mereka pelihara secara aktif:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” (49:10)13

  1. Ayat lain memperingatkan tentang bahaya besar jika orang-orang yang beriman tidak bersatu:

وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِى ٱلْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Orang-orang yang kufur, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (untuk saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar.” (8:73)14

Dua ayat monumental pertama menetapkan sejumlah butir penting. Mereka yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Umat Muhammad ﷺ, adalah umat yang terbaik, yang adil, bukan karena ras, garis keturunan, atau keberuntungan, tetapi karena mereka menyeru kepada Allah, mengajak berbuat baik, melarang kejahatan, sehingga misi mereka adalah berdiri di hadapan umat manusia (li-takūnū) sebagai saksi Allah sebagaimana Rasulullah berdiri di hadapan mereka, menyeru kepada Allah, memperingatkan mereka tentang Allah.15 Misi keumatan, karenanya, adalah cerminan dan perpanjangan dari tugas kenabian.

Ayat-ayat ini lebih lanjut menegaskan bahwa visi Islam di dalam Quran berpusat pada umat atau ‘umatika’, karena umatlah, bukan orang, keluarga, ras, suku, atau etnis, atau lembaga keagamaan tertentu, yang mewarisi misi kenabian. Umat secara keseluruhanlah yang diperintahkan mengangkat dan menaati seorang pemimpin “di antara kamu” (4:59) untuk menjalankan misi tersebut. Ayat-ayat ini menyatakan umat sebagai agen pekerjaan Allah di muka bumi, dan bukan sebagai penerima tindakan atau perintah yang pasif.

Lebih jauh lagi, menjadi sebuah umat yang baik dan menyerukan kebaikan mau tidak mau mengharuskan dua jenis kewajiban, yang pertama terkait kesalehan internal komunitas, dan yang kedua terkait tindakan kolektif keluar, ke dunia. Fungsi pertama memerlukan pencapaian ketakwaan, mencintai dan menaati Tuhan, saling mengoreksi dan mengingatkan; sedangkan fungsi kedua memerlukan pengorganisasian kolektif di bawah kepemimpinan yang efektif untuk melaksanakan tugas kenabian. Setiap kali sekelompok individu yang merdeka diberi tugas kolektif, mereka harus mendistribusikan sumber daya dan tanggung jawabnya. Hal ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah tugas politik, atau dalam kasus kita, tugas umatika. Jika tujuan suatu komunitas bukan sekadar bertahan hidup atau menjalani eksistensi pasif, melainkan melaksanakan misi aktif di dunia, maka aspek politisnya akan lebih jelas lagi karena kelompok tersebut harus berusaha menjadi entitas independen yang memiliki otoritas moral dan kekuatan pendisiplinan. Dengan kata lain, misi kenabian Umat Islam mempunyai dua aspek: karakter kenabian ke dalam yang memerlukan atribut seperti kesalehan, kritik terhadap diri sendiri, integritas, dan moralitas, dan juga misi kenabian ke luar yang membutuhkan kebajikan seperti tindakan, persatuan, solidaritas, keberanian, keteguhan hati, dan keahlian politik.

Tiga ayat berikutnya (3:103; 3:105; 49:10) menekankan bahwa misi ini adalah proses aktif yang membutuhkan solidaritas para orang yang beriman. Melaksanakan misi bersama akan memunculkan kondisi-kondisi untuk bekerja sama dan di sisi lain kondisi berselisih. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kesadaran yang menerus akan rekonsiliasi internal, bina damai, dan keadilan. Dalam hal ini, perumpamaan orang yang beriman sebagai saudara (49:9-10) mengandung sebuah pembelajaran, karena saudara disatukan oleh garis keturunan dari salah satu atau kedua orang tua, seperti para mukmin disatukan oleh Dua Kalimat Syahadat. Namun, di antara saudara. lazim terdapat kepribadian yang berbeda, dan aktualisasi mereka sebagai individu ketika menjadi dewasa merupakan sebuah proses agonistik. Hal tersebut menyebabkan para saudara tidak hanya saling mencintai dan mendukung serta bermain dan berbagi sumber daya antara satu sama lain, tetapi juga terkadang menantang, mengganggu, bertengkar, dan saling bersaing antara satu sama lain, menguji batas diri sendiri dan masing-masing, dan oleh karenanya belajar untuk menghadapi dunia pada garis besarnya. Bahkan ketika sejumlah mukmin—bagaikan saudara terhadap saudara lainnya—melewati batas dan menimbulkan kerugian serius atau menyebabkan kejahatan, Quran tetap menyebut mereka sebagai mukmin dan saudara sekaligus memberikan saran: bergabung dengan pihak yang adil di antara mereka yang melawan pihak yang tidak adil, tetapi dengan tujuan selalu untuk berdamai dan melakukan rekonsiliasi: “Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil.” (49:9). Oleh itu, Allah mengingatkan kita perlunya terus-menerus menciptakan perdamaian di antara umat Islam, dan mengantisipasi serta menoleransi ketegangan daripada berkecil hati karenanya, dan mendesak kita untuk memperlakukan solidaritas para mukmin bukan hanya sekedar hal yang wajar namun juga sebagai kewajiban serta sebagai sebuah proses penyatuan dan harmonisasi. Mereka yang menjadikan pertengkaran dan perkelahian di kalangan umat Islam di masa kini dan masa lalu sebagai pembenaran atas keputusasaan atau kepasrahan terhadap status quo bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga tidak mengindahkan perintah ilahi ini.

Ayat terakhir (8:73) semakin memperjelas jenis persatuan yang diperlukan berikut konsekuensinya: jika Anda tidak bersatu, merapatkan barisan, dan membuat aliansi yang kuat, Anda dan dunia pada umumnya akan menghadapi bahaya besar. Musuh-musuh keimanan—kebenaran selalu memiliki musuh—akan bersekutu dalam melawan keimanan, dan para mukmin diperintahkan untuk menunjukkan solidaritas yang lebih kuat. Perhatikan bahwa ayat Madaniyah yang diturunkan pada saat Perang Badar yang menyerukan terhadap solidaritas menyeluruh, baik dalam perang dan perdamaian, dalam politik, maupun dalam hal lainnya. Hal tersebut dikarenakan perang adalah tindakan manusia yang paling total. Kata-kata yang digunakan dalam ayat ini bersifat universal dan tidak lekang waktu, sehingga ia mengharuskan para mukmin untuk membangun solidaritas yang komprehensif dan memperingatkan bahwa jika umat Islam gagal membangunnya maka akan terjadi kerusakan besar dan pertumpahan darah di muka bumi. Tujuan solidaritas ini bukan hanya untuk melindungi diri mereka sendiri, tetapi juga agama dan komunitas lain: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (22:40).

Terhadap dorongan ilahi ini, sabda Nabi ﷺ memberikan ungkapan yang sangat menyentuh dan mengesankan melalui perumpamaan satu tubuh:

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).16

Pemaparan singkat tentang ayat-ayat Quran mengenai misi khusus Umat Islam dan persatuan sebagai syarat pemenuhannya membawa kita pada perintah-perintah dan fungsi-fungsi yang saling terkait—sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah—yang termasuk dalam apa yang kita sebut umatika.

Umatika harus dimulai dengan menyediakan ruang konseptual bagi eksistensi dan tindakan kolektif Umat Islam, yang memerlukan kajian yang tekun dalam sejumlah bidang dengan cara-cara sebagai berikut:

  1. Menciptakan teori politik Islam yang patut (proper), al-siyāsah al-sharʿiyyah, dalam semangat norma-norma Islam, dengan melibatkan tradisi Islam dan kumpulan pengetahuan manusia baik historis maupun terkini, dan dengan kehati-hatian agar tidak membongkar konsep-konsep Islam. Oleh itu, umatika memerlukan konseptualisasi sekaligus upaya mencapai tujuan dan kebijakan, baik di tingkat lokal maupun global, yang dapat melayani kepentingan umum umat Islam dan umat manusia. Inti dari solidaritas komprehensif yang dimiliki orang-orang yang beriman adalah kesatuan politik masyarakat Muslim lintas wilayah, budaya, bahasa, dan sistem administrasi, yang memerlukan desain kelembagaan dan penyelesaian masalah yang kompleks dan fleksibel. Terlebih lagi, pemerintahan masa kini memerlukan keahlian dan keterampilan teknis yang sangat tinggi, yang dimiliki bersama oleh seluruh umat manusia, serta pengambilan keputusan moral dan teleologis yang konstan dan rumit, yang membutuhkan pengetahuan mendalam dan sistematis tentang norma-norma, tujuan, dan isu-isu kesepakatan dan perselisihan umum dalam Islam. Kita harus menghindari pandangan umum namun naif terkait hubungan antara politik dan norma-norma Islam, yang pertama adalah semua politik hanyalah keputusan teknokratik (seperti menentukan batas kecepatan atau memasang keran), dan yang kedua adalah semua pemerintahan bersifat moral dan dapat dibaca dalam kitab suci atau teks kuno. Mulai dari teknologi, arsitektur, penataan ruang, masalah perkotaan, perlindungan lingkungan; distribusi kekayaan, pembinaan kebajikan publik, pemeliharaan tempat-tempat suci; pengelolaan ritual publik, pertahanan, dan kebijakan luar negeri, kesemuanya memiliki dimensi hukum dan moral Islam yang mendalam dalam berbagai bentuk dan derajat. Pelaksanaan yang tepat dari masing-masing hal ini memerlukan pengetahuan Islam tingkat spesialis dan budi kebajikan dan kesalehan, serta akses ke praktik dan solusi terbaik global, terutama yang berasal dari wilayah umat lainnya (yaitu, pengetahuan intra-umat dan pengetahuan global), dan akhirnya, pengetahuan lokal yang mendalam tentang keadaan dan tradisi desa, kota, atau wilayah tertentu terkait penerapannya. Wacana umatika berupaya menghasilkan, mengembangkan, mendorong, memilah dan memilih pengetahuan tersebut.
  2. Mengupayakan penerapan visi awal Islam yang berpusat pada umat dengan menghidupkan khilafah sebagai lembaga yang akuntabel dan berwawasan ke depan. Pemerintahan Islam yang bersatu di seluruh wilayah mayoritas Muslim, yang peduli dengan kesejahteraan umat Islam sesuai hukum dan norma Islam, adalah sebuah kewajiban utama Islam berdasarkan konsensus (ijma) para ulama lintas abad dan mazhab. Namun, dalam praktiknya banyak hal-hal yang tidak ideal telah terjadi sepanjang sejarah, dan terkadang kekuasaan dan kekayaan terakumulasi di tangan segelintir orang tanpa akuntabilitas yang memadai, sehingga sering kali mengarah pada korupsi, perpecahan, dan akhirnya disintegrasi. Sangat penting bagi kita kembali ke visi khilafah yang berpusat pada masyarakat sebagaimana tercermin dalam Quran dan Sunnah dan praktik para Khulafa Rasyidun, tanpa terjerumus ke dalam sebuah kekeliruan—sebuah kekeliruan yang bertentangan dengan harapan transformatif dan tindakan beriman yang tertulis dalam pesan Quran—bahwa tidak ada yang tersisa bagi umat saat ini kecuali kemunduran terus-menerus dan penderitaan pasif sehingga tiba kemunculan seorang juru penyelamat. Kita juga tidak boleh terbatas pada bentuk-bentuk politik di masa lalu: lembaga historis khilafah memiliki banyak bentuk,17 dan kondisi pramodern menimbulkan banyak tantangan besar terhadap administrasi bersatu atas wilayah yang luas dan terus berkembang, yang sering kali memaksa terjadinya kompromi. Perkembangan teknologi, sosial, dan politik yang penting saat ini memungkinkan kita mengatasi banyak tantangan ini sekaligus memungkinkan umat Islam untuk berdaya sekali lagi untuk memilih siapa saja yang berwenang dan meminta pertanggungjawaban para pemegang kewenangan secara ketat.
  3. Mengupayakan persatuan dan penyatuan umat secara komprehensif dalam tataran wacana dan praktik melalui penanggulangan ketidakadilan dan kesenjangan secara sistematis. Artinya, solidaritas tidak hanya berada pada tingkat politik tetapi juga spiritual, sosial, dan ekonomi yang diorganisisasi sebagaimana yang disyaratkan oleh misi kenabian bahwa semua Muslim pada dasarnya adalah setara, sedangkan keistimewaan diberikan hanya atas dasar ketakwaan dan kompetensi. Sebagaimana disampaikan Abu Bakar ash-Shiddīq dalam khotbah pertamanya, melindungi pihak yang lemah dari pihak yang kuat dalam Umat Islam merupakan tugas penting dalam pemerintahan Islam.18 Tugas ini membutuhkan pengkajian dan pengembangan akan sebuah pendekatan yang meliputi berbagai hal. Hal tersebut termasuk mempersiapkan opini publik Muslim di semua tingkatan di berbagai wilayah, mengenali dan menangani penyebab-penyebab perpecahan dan ketidakpercayaan antara satu sama lain, mengatasi keluhan melalui mekanisme yang restoratif, terutama yang didasari pada komitmen bersama terhadap iman dan peradaban Islam. Perpecahan yang didasarkan pada pertimbangan ekonomi, komunal, atau sektarian juga memerlukan penanganan akar permasalahan serta pendekatan yang toleran dan restoratif, didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang dijunjung bersama. Nasionalisme, etnosentrisme, warna kulit, rasisme, dan segala bentuk gagasan dan praktik diskriminatif yang menentang meritokrasi Islami, yang muncul kembali dalam bentuk-bentuk baru, harus dicari dan diberantas dengan gigih. Perlu dicatat bahwa aspek deskriptif (atau saintifik sosial) dari umatika—mengacu pada pengamatan seperti yang dilakukan Ibnu Khaldun—menyadari bahwa perpecahan dan perselisihan di antara manusia tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, karena perpecahan dan perselisihan baru akan erus-menerus muncul dari naluri alamiah manusia. Karenanya, teori umatika normatif (normative ummatics) mendorong kita untuk terus mencari penanggulangan dan pemulihan dengan cara-cara yang telah ditetapkan dalam Islam ketimbang mencari kesempurnaan yang utopis.
  4. Memajukan wacana Islam dalam mengelola keberagaman daripada memaksakan homogenitas. Hal ini berarti mengenali dan mengakui keberagaman yang tidak bisa dihindari dalam umat, mempelajari sumber-sumber dan penyebabnya, menghormati perbedaan yang tidak mengancam, termasuk perpecahan sektarian, sosial, kelas, dan ras, serta meminimalkan perselisihan. Hal ini tidak menghalangi kita untuk memperdebatkan pendapat-pendapat teologis, hukum, atau pendapat lain yang kita yakini dengan penuh semangat selama berada dalam batas-batasan dalam Islam yang bersifat luas. Konflik sektarian memainkan peran penting dalam melemahnya agama Kristen sebagai kekuatan sosial, berperan dalam kebangkitan sekularisme di Eropa, serta menimbulkan ancaman yang sama besarnya bagi dunia Muslim saat ini. Terkait perbedaan doktrin, peradaban Islam telah melihat model toleransi yang sangat sukses dalam bidang-bidang utama tertentu, seperti pluralisme hukum mazhab Sunni, dan perlindungan yang diberikan oleh Syariah terhadap komunitas non-Muslim. Toleransi dan koeksistensi intra-Muslim seperti ini tidak mengharuskan kita menyerah dalam upaya memperjuangkan dan membela kebenaran, melainkan menempatkan perbedaan pada tempatnya. Hal ini tidak hanya mencakup pembedaan antara perbedaan yang sah dan tidak sah ditinjau dari sisi doktrin ataupun perbedaan yang signifikan dan tidak signifikan secara politis. Namun, ia juga mencakup pengakuan bahwa dasar-dasar yang mengikat umat, meskipun jumlahnya lebih kecil, lebih kuat dibandingkan perbedaan-perbedaan yang bersifat cabang. Kewajiban keumatan yang dapat dipetik adalah kita harus mempelajari kasus-kasus keberhasilan koeksistensi intra-Muslim, menjadikannya sebagai kebijaksanaan bersama (common wisdom) umat Islam, bekerja untuk mengamankan prasyaratnya, dan dengan demikian mewujudkan kebangkitannya.
  5. Memprioritaskan kaum lemah dan tertindas di kalangan umat Islam di tingkat global yang sangat penting untuk mengaktualisasikan perumpamaan kenabian tentang Umat Islam sebagai sebuah tubuh. Hal ini memerlukan, sebagai langkah pertama, pengetahuan yang akurat dan terkini tentang penderitaan kaum yang tertindas (mustadʿafin) (4:75), dan mengembangkan pengkajian yang tekun mengenai ancaman saat ini dan di masa depan terhadap wilayah Islam dan tempat-tempat sucinya. Masalah krusial keumatan Islam seperti Palestina, Kashmir, Turkistan Timur, Rohingya—sedikit di antara banyaknya permasalahan—masih belum terselesaikan dan tampak tidak ada harapan dapat terjadi tepatnya karena pemahaman terhadap permasalahan tersebut mengalami sekularisasi, dibuat terputus dari umat, dan hanya dilihat secara sempit. Akhirnya, hal tersebut mengarah pada pengabaian permasalahan tersebut secara umum atau setidak-tidaknya perhatian yang diberikan sporadis dan tidak berkesinambungan. Semua kasus tersebut, akar masalahnya, sejarahnya, serta wacana terkait solusinya perlu menjadi bagian dari berita dan kurikulum harian umat Islam di mana pun sehingga kita dapat merasakan, merencanakan, dan merespons, seperti yang dituntut Nabi ﷺ kepada para mukmin.
  6. Memajukan wacana terkait cara menghadapi tantangan-tantangan utama dalam bidang ekonomi, sosial, ekologi, dan teknologi yang penting bagi visi dunia Muslim yang bersatu dan sejahtera. Mengatasi tantangan seperti perubahan iklim, memanfaatkan perkembangan seperti kecerdasan buatan secara bertanggung jawab, dan menunjukkan bagaimana paradigma Islam seperti perekonomian bebas bunga riba dapat menghasilkan dunia yang lebih berkeadilan. Hal ini sangat penting bukan hanya karena hal-hal tersebut memengaruhi umat Islam secara signifikan ataupun kemakmuran dunia Islam menuntutnya, tetapi juga karena kita tidak dapat memenuhi mandat keumatan untuk menjadi saksi bagi umat manusia tanpa memimpin dalam bidang-bidang tersebut.
  7. Mengatur hubungan keumatan dengan dunia secara keseluruhan, menjunjung misi keumatan untuk menyeru kepada Islam, menjamin kesejahteraan umat Islam di tingkat global sambil mengupayakan koeksistensi peradaban dan wilayah, serta menyelesaikan tantangan bersama yang bersifat material, lingkungan, dan lainnya yang dihadapi oleh umat manusia.

4. Kesimpulan: Dimulai dengan Ketulusan (Naṣīḥah)

Mungkin ada yang bertanya, siapa yang seharusnya melakukan semua ini? Bukankah semua fungsi ini sudah mengandaikan adanya satu lembaga yang kuat, seperti negara?

Sebuah pemerintahan efektif yang mewakili seluruh umat Islam dengan cara yang responsif dan akuntabel tentu saja merupakan keharusan untuk menjaga Umat Islam, selain sebagai kewajiban Islam itu sendiri. Otoritas politik diperlukan untuk menegakkan aturan hukum Islam dan mempertahankan diri dari serangan. Namun, meskipun diperlukan, kekuasaan saja tidak cukup untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, dan kekuasaan juga bukan merupakan titik tolak dari segala hal. Titik tolak dimulai, sebagaimana cara yang ditunjukkan Nabi SAW, dengan dahulu memperbaiki keyakinan dan sikap sebelum melanjutkan ke kekuasaan. Misalnya, bayangkan kekhalifahan jatuh ke tangan orang atau kelompok yang kejam, lalai, mementingkan diri sendiri, atau kelompok yang menjual diri kepada kekuatan asing. Bahkan, para penguasa yang saleh, seperti ulama dan pemimpin spiritual, bisa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan jika tidak diawasi dan dimintai pertanggungjawaban. Sudah jelas bahwa umat yang siaga dan institusi yang kuat diperlukan untuk menjamin tata kelola pemerintahan yang baik. Umat Islam harus siap menuntut hak-haknya sekaligus menghormati hak-hak para pemimpin, ulama, penguasa, serta para mukmin secara umum di semua tingkatan, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, “Agama adalah ketulusan (naṣīḥah) … terhadap Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin-pemimpin para Muslim, serta terhadap umat Islam umumnya.”19 Keutamaan kebenaran dan kewajiban yang melekat dalam naṣīḥah, ketimbang mantra liberal sekuler tentang hak-hak individu, adalah kerangka kerja yang tepat untuk mendasari hak-hak dan kewajiban umat. Nabi SAW mempersiapkan umatnya yang masih muda untuk naṣīḥah ini jauh sebelum mereka diberi kekuasaan di Madinah. Tanpa jatuh ke dalam kekeliruan bahwa kita semua harus menjadi orang yang berbudi luhur secara sempurna sebelum mengharapkan pemerintahan yang lebih baik, posisi menengah kita mengajak kepada penciptaan wacana dan praksis intelektual dan sosio-politik yang terarah dan berbudi luhur, yang dapat berfungsi secara bersamaan sebagai landasan bagi pelaksanaan kekuasaan yang berbudi luhur dan untuk meminta pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut.

Perhatikan bahwa umatika sebagai sebuah wacana diperlukan terlepas dari keberadaan khilafah, seperti halnya fikih dan akidah sebagai wacana yang diperlukan baik sebelum dan sesudah kemunculan para mukmin yang saleh. Bahkan, jika khilafah global besok terwujud, kita tidak akan tidak membutuhkan wacana keumatan.

Lalu, siapa yang harus mengembangkan pengetahuan keumatan dan melakukan pekerjaan keumatan? Tugas ini tidak hanya dipikul oleh satu orang atau satu institusi saja, tetapi oleh semua orang yang memiliki sumber daya untuk berkontribusi di dalam tubuh Umat Islam. Tanggung jawab kita berbanding dengan sumber daya yang kita miliki. Mengingat bahwa saat ini sumber daya yang hampir tak terbatas tersedia bagi sebagian Muslim, sementara sebagian besar lagi berada dalam kesengsaraan dan kemiskinan, maka sebagian jecil Muslim yang mampu itu harus menjawab  tantangan ini.

Kami mengusulkan umatika sebagai konsep yang mencakup wacana, disiplin akademis, dan ruang publik Muslim global yang secara sistematis mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Ummatics Institute bertujuan menjadi salah satu inisiatif yang kami harapkan dapat memberdayakan pemikiran dan praktik keumatan.

Notes

  1. Frasa tersebut berasal dari pidato Nabi. Akar istilah dan konsep siyāsah muncul dalam Bukhārī: “Bani Israil diperintah oleh para nabi (tasūsuhum al-anbiyāʾ)” (3455). Konsep terkait amr al-muslimīn (“urusan umum umat Islam”) lebih sering muncul: “Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan umat Islam, maka dia bukan bagian dari mereka” (riwayat ini, yang disarikan oleh Bayhaqi dan lainnya dinilai lemah, tetapi mampu menangkap konsep-konsep yang disampaikan oleh banyak riwayat lain yang lebih kuat). Banyak sekali riwayat lain yang menegaskan maknanya. ‘Umar bin al-Khaṭṭab meriwayatkan bahwa “Rasulullah akan berbicara hingga larut malam dengan Abū Bakar tentang urusan umat Islam dan aku akan bersama mereka” (dinilai sahih atau ḥasan, Aḥmad 228; Tirmidhī 169; kāna yasmuru maʿa abī bakr fī amr min amr al-muslimin). Sebuah riwayat terkenal, yang dikutip di akhir esai ini, menganggap ketulusan kepada umat Islam sebagai bagian dari hakikat agama (Muslim 55, al-dīn al-naṣīḥah … li-ʿāmmatihim). Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ berdoa: “Barangsiapa diberi tanggung jawab atas suatu urusan umatku, namun dia bersikap keras terhadap mereka, maka bersikap keraslah terhadapnya, dan barangsiapa diberi tanggung jawab atas suatu urusan umatku dan bersikap lembut terhadap mereka, maka bersikap lembutlah terhadapnya” (Muslim 1828). Rasulullah dengan tegas memperingatkan agar tidak memisahkan diri atau berperang melawan Umat Islam (Muslim 1848; man kharaja min al-ṭāʿa … wa-man kharaja ʿalā ummatī), dan sering berbicara tentang apa yang dia cintai atau takuti untuk umatnya, misalnya. “Yang aku takuti (atau yang paling aku takuti) untuk umatku adalah para pemimpin (imam) yang akan menyesatkannya… dan sebagian dari umatku akan bertahan di atas kebenaran tanpa tersakiti oleh orang-orang yang meninggalkannya hingga datangnya perintah Allah” (Tirmidzi) 2229; innamā akhāfu ʿalā ummatī … lā tazālu ṭāʾifat min ummatī).
  2. Istilah Umatika telah digunakan beberapa kali oleh para Muslim yang menulis dalam bahasa Inggris untuk merujuk pada konsep yang kira-kira sama, meskipun saya belum menemukan peneorian berkelanjutan dari istilah ini seperti yang diupayakan dalam esai ini. Lihat, misalnya, Ataullah Siddiqui, “Ismail Raji al-Faruqi: From ʿUrubah to Ummatic Concerns,” American Journal of Islamic Social Sciences 16, no.3 (1999): 1-26; dan Masudul Alam Choudhury, The Islamic World-System: A Study in Polity-Market Interaction (London: Routledge, 2005); kedua penulis tidak mengembangkan konsep ini selain penggunaannya dalam bentuk kata sifat.
  3. Meskipun ‘politik’ dapat dipahami secara luas sebagai pengelolaan urusan masyarakat, terdapat tekstur normatif yang lebih mendalam dalam konsep ini. Bagi Aristoteles, polis dibedakan dari kota-kota Yunani kuno yang diperintah raja atau oligarki karena struktur demokrasinya, yang memunculkan panggilan yang lebih tinggi untuk kehidupan publik yang berbudi luhur (di luar kehidupan pribadi oikos, atau rumah tangga) dan menetapkan status yang lebih tinggi dari komunitas politik. Sebaliknya, politik modern sering kali menjadi rasionalitas instrumental yang kejam dan terikat pada kepentingan material negara-bangsa sekuler.
  4. Definisi ini dirumuskan al-Māwardī namun diulangi dalam idiom yang berbeda oleh hampir semua penulis klasik besar mengenai subjek ini. Al-Māwardī menulis: “Allah swt. telah mendelegasikan kepada umat seorang pemimpin sebagai penerus kenabian, dan memberinya wewenang untuk mengatur urusan umat” (al-Aḥkām al-Sulṭāniyya, ed. Aḥmad Jād (Kairo : Dār al-Ḥadīth, 1427/2006), 13). Ia kemudian menjelaskan lebih lanjut dalam beberapa paragraf: “Imamah diwajibkan untuk meneruskan kenabian sebagai sarana melindungi din dan mengatur urusan dunia. Menetapkan seseorang yang akan melaksanakan tugas-tugasnya untuk Umat Islam adalah kewajiban berdasarkan konsensus, meskipun ada perbedaan pendapat dari al-Aṣamm yang [Khawarij]. Masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah kewajiban khilafah didasarkan pada wahyu atau akal” (15). Untuk lebih jelasnya lihat artikel saya “Who Wants the Caliphate?”, Yaqeen Institute, 2019, https://yaqeeninstitute.org/read/paper/who-wants-the-caliphate; dan untuk pembahasan terperinci mengenai kontribusi al-Māwardī dalam konteks sejarah dan intelektualnya, lihat Ovamir Anjum, Politics, Law, and Community in Islamic Thought: The Taymiyyan Moment (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2012). 117-121.
  5. Pembahasan yang panjang mengenai arti kata Umat dapat ditemukan dalam: Isḥāq b. ʿAbdallāh al-Saʿdī, Dirāsāt fī Tamayyuz al-Umma al-Islāmiyya wa-Mawqif al-Mustashriqīn minhu (Doha, Qatar: Wizārat al-Awqāf wal-l-Shuʿūn al-Islāmiyya, 1434/2013), 61-107; kesimpulannya dirangkum pada halaman 104.
  6. Bagi kaum Sunni, istilah khalifah (yang bentuk kekuasaannya disebut sebagai khilafah) dan imamah (yang bentuk kekuasannya disebut sebagai imāma) mengacu pada jabatan yang sama. Sedangkan, bagi kaum Syiah, istilah yang tepat adalah imam, dan jabatan ini bagi mereka memiliki signifikansi teologis yang jauh lebih besar.
  7. Mengenai kegagalan model negara-bangsa di dunia Muslim saat ini, lihat Joseph Kaminski, “Irredeemable Failure: The Nation-State as a Nullifier of Ummatic Unity”, Ummatics, 14 Des 2022, https://ummatics.org/papers/irredeemable-failure-the-modern-nation-state-as-a-nullifier-of-ummatic-unity/; tentang kooptasi ulama tertentu setelah Musim Semi Arab, lihat Usaama al-Azami, Islam and the Arab Revolutions: The Ulama Between Democracy and Autocracy (London: C. Hurst & Co., 2021; dan New York: Oxford University Pers, 2022). Pustaka kesarjanaan dipenuhi dengan catatan tentang penindasan terhadap ulama dan reformis Muslim di negara-negara mayoritas Muslim yang zalim. Untuk penjelasan yang mudah dipahami, lihat Iyad El-Baghdadi dan Ahmed Gatnash, The Middle East Crisis Factory: Tyranny, Resilience and Resistance (London: C. Hurst & Co., 2021). Untuk tulisan antropologis terkini, lihat Pascal Menoret, Graveyard of Clerics: Everyday Activism in Saudi Arabia (Stanford: Stanford University Press, 2020). Untuk penjelasan yang cenderung lebih tua namun tetap berguna untuk memahami kekerasan negara-negara Arab terhadap penduduknya yang didorong oleh lemahnya legitimasi para penguasa, lihat Nazih N. Ayubi, Over-Stating the Arab State: Politics and Society in the Middle East (London: I. B. Tauris, 1995).
  8. Ummatan wasatan adalah masyarakat tengah (adil seimbang) atau masyarakat terbaik (terpilih). Kedua makna ini diulang-ulang dalam tafsir-tafsir klasik. ʿAllāma Tāhir Ibnu ʿĀshūr (w. 1393H) dalam tafsirnya al-Taḥrīr wa-l-Tanwīr (untuk ayat 2:143) merangkum tafsir-tafsir sebelumnya dan mendukung kedua makna ini, dengan menambahkan, “Ayat ini merupakan penghormatan kepada umat Islam karena Allah memberikan kehormatan kepada mereka sebagai orang terpilih (wasaṭ) dengan membekali mereka sarana menjelaskan dan memahami hukum ilahi serta menjaga akal mereka agar tidak terbiasa dengan kesesatan, tidak seperti umat-umat lain; Fakhr al-Dīn (al-Rāzī) berkata, ‘Maknanya bisa jadi mereka seimbang dalam agama antara yang berlebihan dan lalai, yang ekstremis dan longgar…’”
  9. Salah satu terjemahan literal dari frasa shuhadāʾ ʿala al-nās yang mungkin adalah “saksi terhadap umat manusia,” tetapi “saksi,” seperti dalam “penyeru dan pengajar,” lebih sesuai dengan makna idiomatisnya. Penjelasan yang paling tepat untuk frasa ini diberikan dalam tafsir klasik Naṣr b. Muḥammad al-Samarqandī (w. 373H) Baḥr al-ʿUlūm sebagai: “shahada (penyaksian) berarti menjelaskan bukti, karena ia menjelaskan hak seorang penggugat di pengadilan, jadi artinya kalian semua [Umat Muhammad SAW] menjelaskan [dan dengan demikian meneguhkan dan menegakkan hak Tuhan] kepada semua yang datang setelah [wahyu Al-Qur’an], sebagaimana Nabi saw. menjelaskan hal yang sama kepada kalian.” Penjelasan ini dikutip dan diuraikan lebih lanjut dalam Jamāl al-Dīn al-Qāsimī (w. 1332/1914), Maḥāsin al-Taʾwīl, ayat 2:143 (https://furqan.co/mahasin-altaweel/2/143).
  10. Mengenai makna frasa khayra ummah, setelah menyebutkan berbagai pendapat yang tumpang tindih, Abū Jaʿfar al-Tabarī (w. 310H) menyatakan bahwa pendapat yang paling baik adalah dari al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110H), yang mengatakan, “Kita adalah [umat pilihan] terakhir dan yang paling mulia di hadapan Allah,” karena, al-Tabarī mencatat, makna ini sesuai dengan hadis Nabi berikut ini, “Kalian datang setelah tujuh puluh umat, kalian adalah yang paling mulia dan terbaik di sisi Allah.” (Musnad Aḥmad dan di tempat lain, dinyatakan ṣaḥīḥ atau ḥasan oleh berbagai otoritas; https://furqan.co/tabari/3/110). Al-Qurṭubī (w. 671H) meriwayatkan Ibnu ʿAbbās mengatakan bahwa “umat terbaik” mengacu pada mereka yang bermigrasi dari Makkah ke Madinah dan menyaksikan pertempuran Badar dan al-Ḥudaybiyya, selain pernyataan ʿUmar b. al-Khaṭṭāb bahwa “Siapa pun yang melakukan apa yang mereka lakukan akan menjadi seperti mereka [dalam pujian dan pahala]” (lihat ayat 3:110, https://furqan.co/qurtubi/3/110). Ibnu Katsir (w. 773H) dalam tafsirnya menyatakan, “Pendapat yang benar adalah ayat ini merujuk pada seluruh umat, setiap generasi sesuai dengan [kebaikannya].” Semua ahli tafsir di atas sepakat bahwa makna “yang terbaik” adalah bahwa umat Islam adalah yang terbaik bukan hanya untuk kelompoknya sendiri, melainkan bagi seluruh umat manusia, yaitu, yang paling bermanfaat bagi mereka, dan bahwa pujian dan kehormatan berlaku bagi mereka yang memperjuangkan kebenaran sebagaimana terkandung dalam wahyu terakhir Allah, dan melarang kesalahan (lihat ayat 3:110; https://furqan.co/ibn-katheer/3/110).
  11. Abū Jaʿfar al-Tabarī (w. 310H) menyebutkan tiga makna yang tumpang tindih untuk “tali Allah,”: pertama, kesatuan para mukmin (jamāʿah), kedua, doktrin monoteisme yang murni (tawḥīd), dan ketiga, Quran dan perjanjian Quran antara Allah dan para mukmin (lihat ayat 3:103; https://furqan.co/tabari/3/103). Al-Qurṭubī mendukung makna pertama, yaitu kesatuan para mukmin (https://furqan.co/qurtubi/3/103), sedangkan Ibnu Katsir dan al-Nasafī (w. 710H) mendukung makna terakhir, yaitu makna utamanya adalah Al-Qur’an (https://furqan.co/ibn-katheer/3/103). Ibnu ʿĀshūr menegaskan makna “Umat Islam yang utuh dan bersatu” sebagai tali Allah dengan cara menyatukan ketiga makna tersebut dalam perumpamaan yang luas terkait tali: “Tujuannya adalah memerintahkan ketaatan pada seluruh Umat, yang tentunya mencakup perintah kepada setiap individu untuk berpegang pada agama ini” (lihat ayat 3:103; https://furqan.co/ibn-aashoor/3/103).
  12. Semua penafsir sepakat bahwa rujukan dalam ayat ini adalah Ahli Kitab (lihat ayat 3:105, https://furqan.co/tabari/3/105).
  13. Semua penafsir klasik menegaskan makna bahwa semua orang yang beriman kepada Dua Kalimat Syahadat itu seperti saudara, meskipun dalam hukum ilahi, kekerabatan biologis memiliki aturan khusus, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak bagi sebagian yang lain menurut Kitab Allah” (8:75; 33:6). Namun, di luar norma-norma warisan, pernikahan, dan sebagainya, dalam hal kasih sayang dan dukungan, kekerabatan dalam agama bisa jadi lebih kuat. Al-Qurṭubī meriwayatkan sebuah pepatah Muslim, “Persaudaraan dalam agama lebih kuat daripada persaudaraan sedarah, karena perbedaan agama memutuskan hubungan darah [seperti dalam aturan warisan], namun perbedaan nasab tidak memutuskan persaudaraan dalam agama” (lihat ayat 49:10; https://furqan.co/qurtubi/49/10). Ibn ʿĀshūr mencatat bahwa rujukan hubungan iman sebagai persaudaraan adalah rujukan yang terus-menerus ada di seluruh Quran dan Sunnah, misalnya. ayat 59:10.
  14. Fakhr al-Dīn al-Rāzī merangkum makna ayat ini, 8:73, dan ayat sebelumnya: Ayat 8:72 ditujukan kepada tiga kelompok, yang pertama adalah para imigran dari Makkah dan tuan rumah serta pendukung mereka di Madinah, yang merupakan sekutu satu sama lain; kelompok kedua terdiri dari para mukmin yang tidak menaati perintah hijrah ke Madinah (baik secara sukarela atau tidak), mereka diakui sebagai orang beriman tetapi tanpa manfaat walāya (aliansi). Namun, jika mereka mencari bantuan dalam hal agama, para mukmin harus membantu mereka, tetapi bantuan mereka bergantung pada perjanjian yang ada yang tidak dapat dilanggar. Yang terakhir, semua persekutuan dengan orang-orang kafir harus diputus. Ayat berikutnya, 8:73, menyatakan bahwa orang-orang kafir adalah sekutu satu sama lain, dan jika para mukmin tidak bersekutu juga, maka akan terjadi kerusakan dan penganiayaan besar (https://furqan.co/alrazi/8/73). Yang perlu diperhatikan, bahaya yang ada di sini bukan hanya bersifat politis, tetapi juga terhadap integritas dan perkembangan iman. Mengenai makna yang tepat dari walāya, al-Tabarī, al-Qurṭubī, Ibnu Katsir, dan para penafsir tradisional lainnya mencatat dua makna walāya (aliansi), yaitu 1) makna yang tersurat dan, bagi al-Tabarī, satu-satunya makna yang tepat, adalah 2) tanāṣur, yaitu saling melindungi dan membantu secara militer dan politik. Makna kedua, yang dapat dibuktikan dalam ayat-ayat lain tetapi hanya tersirat di sini, merujuk pada pemisahan hubungan sosial seperti warisan dan perkawinan antara para mukmin dan orang kafir (https://furqan.co/tabari/8/73). Ibnu ʿĀshūr menambahkan bahwa “Tujuannya adalah terciptanya persatuan Islam, yang hanya dapat disempurnakan jika para anggotanya bersatu padu dan menghindari apa pun yang melanggarnya” (https://furqan.co/ibn-aashoor/8/73).
  15. Para ahli tafsir klasik justru menyebut ayat ini antara lain sebagai bukti perlindungan ilahi (ʿismah) untuk terhadap ijma karena Allah telah menunjuk umat secara keseluruhan sebagai saksi-Nya, yang menjamin kejujuran umat secara keseluruhan dalam segala hal yang mereka sampaikan dengan kesepakatan bulat atas nama Allah. Lihat misalnya penjelasan ayat 2:143 karya al-Ṭabarī, al-Qurṭubi, al-Rāzī, al-Nasafī, dan Ibnu Katsir, yang telah dikutip sebelumnya.
  16. Muttafaq alaih (disepakati). Bukhārī 6011, Muslim 2586.
  17. Lihat artikel saya “Who Wants the Caliphate?” untuk mengetahui empat (atau, jika kita menghitung masa Kekaisaran Utsmaniyah yang konstitusional namun berumur pendek, lima) tahapan yang dilalui sejarah khilafah.
  18. Ibnu Hisyam (w. 213H), al-Sīra al-Nabawiyya, ed. Muṣṭafā al-Saqā dkk., 6 jilid. (Maṭbaʿa Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1375/1955), 2: 660-1.
  19. Muslim 55.

    Catatan Penerjemah

    1. Terdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait bagaimana kata ummatics/ummatic dari artikel berbahasa Inggris dialihbahasakan atau dipertahankan ke dalam terjemahan ini. Kata “Ummatics” sebagai nama diri (proper name/ism ‘alam) sebagaimana yang ditemukan dalam “Ummatics Institute” dipertahankan tanpa ada penerjemahan. Lalu, kata “ummatics” sebagai sebuah nomina yang dibahas sebagai objeku utama pembahasan dalam terjemahan ini diterjemahkan sebagai “umatika.” Pertimbangan yang diberikan adalah bahwa “umatika” merupakan sebagai sebuah konsep baru yang dipandankan dengan konsep “politik.” Adapun ummatic sebagai kata sifat, misalnya dalam frasa “ummatic issue”, diterjemahkan sebagai keumatan. Hal tersebut mempertimbangkan penggunaan kata keumatan yang sudah lumrah digunakan dalam bahasa Indonesia sehari-hari.

Discover more

Call For Mentee and Mentor Applicants | Ummatics Mentorship Program

April 27, 2024
Ummatics Institute

Ummatics Conference 2024: Towards an Ummatic Future

April 8, 2024
Ummatics Institute

Dr Israr Ahmed Life & Thought

April 8, 2024
Ummatics Institute

Search

Search

Navigate

Search

Sign up to our Newsletter